DUA

1.8K 270 25
                                    

*SMA Duta Pertiwi*

*Nara Pov*

Setiap malam, aku menyiapkan semuanya. Alat tulis, buku, semua sudah masuk ke dalam tas. Aku memandang ponsel second yang layarnya sudah retak. Beruntung LCDnya masih bagus.

Ponsel canggihku sudah dijual bulan lalu, untuk biaya DP motor. Ayah yang meminta Om Maul, adik bungsu Ayah, mengantarku antar jemput ke sekolah naik motor, sekalian berangkat kerja.

Om Maul adalah guru matematika honorer di SMA Negeri 1. SMA yang tadinya menjadi tempatku meraih cita-cita. Hanya karena nilaiku kurang 0 koma enam, semua kandas. Hampir saja aku tidak dapat melanjutkan sekolah SMA, kalau Bosnya Ayah tidak memberikan bantuan biaya untuk masuk SMA swasta.

Di grup alumni SMP, sudah ramai chat dari sahabat-sahabatku. Alvira, Ayuni, Destia dan Nurmala. Dari semua sahabatku, hanya aku yang gagal masuk sekolah negeri. Mungkin karena aku kurang gigih belajar. Menuruti hawa nafsu untuk tidur malam lebih awal setelah sempat lelah menunggu Ayah dirawat di RS karena stroke selama 2 pekan.

Tidak elok rasanya, menggunakan alasan karena orang tua sakit. Melihat Ayah yang tadinya kecewa karena aku tidak masuk sekolah negeri dan beliau tetap berjuang agar aku bisa sekolah meski di swasta, aku jadi merasa bersalah.

Hari-hari awal sekolah dan sampai hari ini pun, aku merasa minder. Melihat barisan mobil yang berderet di parkiran sekolah. Juga motor-motor mahal yang jumlahnya hanya segelintir. Aku turun dari motor milik Om Maul beberapa meter dari gerbang sekolah.

"Nanti Om titip kamu sama teman Om. Dia kepala sekolah disini. Namanya Pak Romi. Dulu kami bertemu saat olimpiade matematika di Sydney."

Om Maul mengelus puncak kepalaku dan aku mencium punggung tangannya. Bagiku, Om Maul tidak hanya sosok seorang Om, tapi juga kakak untukku. Ia juga yang mengetahui kelemahanku.

"Jangan lupa pesan Om, kalau kesulitan ngomong di depan kelas. Catat dulu di buku, apa yang mau diutarakan. Nggak usah gugup. Kamu itu pintar, Nara. Cuma kalau sudah grogi, semua yang kamu ingat jadi lupa semua. Oya, tentang jualan kue punya Ibu, nanti Om bicarain lagi ya di rumah. Om sepertinya tidak bisa selalu temani kamu ke pasar jam 6 pagi."

Itu yang aku rasakan juga saat ujian akhir SMP. Karena grogi melihat 5 soal awal yang belum bisa aku jawab, apa yang aku pelajari, hilang semua. Aku hanya mengangguk dan begitu Om Maul pergi, bel masuk berbunyi. Astaghfirulloh, aku terlambat.

Sudah terbayang wajah senior-senior kelas tiga yang galak. Tapi seraut wajah teduh dengan hidung mancung dan sorot mata bersahabat, muncul di gerbang. Dia mempersilahkan kami masuk karena baru terlambat beberapa menit.

Beberapa siswi di sebelahku berbisik.

"Alhamdulillah, panitia yang jaga di gerbang, Kak Hamzah Akbar. Ganteng ya orangnya, baik juga."

"Dia panitia bagian apa sih? Aku jadi pengen 1 ekskul sama Kak Hamzah."

"Dia itu ketua Rohani Islam. Kya... Orang sholeh. Aku mau jadi pendaftar pertama masuk Rohis."

Selesai apel pagi, aku masih tersenyum mendengar celotehan dan bisikan teman-teman yang membicarakan Kak Hamzah. Memang benar, orangnya baik, ramah dan tampan. Hatiku seperti membunga bahagia, karena disini aku malah bertemu dengan calon pangeran pujaan hati.

"Inara Ilyana, ikut saya."

Senyum yang terbit di wajahku, mendadak redup ketika seseorang memanggilku dari arah belakang. Pita biru di kanan, kakak panitia. Aku seketika pucat namun berusaha menenangkan diri. Aku berjalan menunduk dan tidak berani menatap wajah senior yang berjalan di depanku.

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now