DUA PULUH TIGA

1.3K 253 64
                                    

*Zhafran Pov*

Sudah beberapa hari ini aku kurang tidur. Bukan karena Nara. Maksudku iya karena Nara dan hal lain, selain soal Nara. Aku mulai serius menekuni perusahaan baru yang sudah lama didirikan kedua sahabatku, Wildan dan Awan.

Sewaktu masih bekerja di UK, aku menitipkan sebagian penghasilanku untuk investasi. Awan punya tim yang profesional untuk mengelola keuangan.

Minimal sudah ada yang aku persiapkan, kalau suatu saat nanti Papa memintaku mundur dari perusahaan. Selain tabungan dan pekerjaan yang harus aku miliki sebagai kepala keluarga nantinya, aku masih punya sejumlah pekerjaan rumah, membenahi perusahaan Papa.

Ada nilai-nilai yang harus aku tinggalkan di perusahaan Papa, ketika aku nanti resign. Meski awalnya banyak anak buah berkeluh kesah karena peraturan yang kuterapkan. Termasuk pemotongan gaji pokok bila datang telat dan pulang lebih cepat. Atau pun tidak masuk tanpa keterangan yang jelas.

Tapi aku juga berlaku adil dengan memberikan penghargaan berupa tunjangan setiap bulan untuk mereka yang disiplin dan bonus akhir tahun bila program yang direncanakan, bisa berjalan dengan baik. Mereka kini mulai bisa beradaptasi dengan cara kerja dan kepemimpinanku.

Di saat aku ingin beristirahat di sofa, tiba-tiba Hamzah menelepon. Selama aku kuliah dan bekerja di luar negeri, Hamzah cukup membantu. Ia yang mencarikan apartemen dan mengenalkanku dengan Ahmed dan Hayya. Istri Ahmed ternyata masih saudara jauh dari Ibunya Hamzah.

"Assalaamu'alaikum. Zhaf, lagi dimana?"

"Wa'alaikumsalam. Lagi jadi kaum rebahan, Bro." aku beneran lagi memejamkan mata dan menyandarkan kepala di bantal empuk.

Terdengar suara Hamzah terkekeh di seberang.

"Bisa aja ente. Bos mah bebas ya. Ane mau minta tolong Zhaf. Apa masih ada peluang CSR di perusahaan ente, untuk magang anak-anak SMA? Programnya pas liburan semester. Mereka bisa bantu dan belajar juga disana. Mereka sudah piawai ilmu komputer dan bahasa Inggris. Tinggal dipraktekkan."

Hmm.. Menarik juga sih tawarannya.

"Ada contact personnya nggak? Nanti biar dihubungi sama Andro."

"Ada. Tapi kalau mau ketemu langsung, ane janji makan siang hari ini. Siapa tahu kalian berjodoh. Maksud ane, kalau cocok kan bisa langsung MOU."

Jodoh?

Ingatanku langsung melayang ke Nara. Ya Tuhan, kenapa 3 minggu itu masih lama sih. Sebenarnya aku hampir tiap hari menulis pesan untuk dikirim ke Nara.

Aku sengaja ketik di ponsel tanpa pernah mengirimnya. Ya macam kalimat puitis kalau lagi orang lagi kangen, gimana sih. Kalian juga ada yang pernah alami seperti aku kan.

Tapi aku takut Nara malah ketakutan dan menjauh kalau aku mengiriminya pesan-pesan itu. Dia akan salah paham mengira aku terlalu agresif mengejarnya. Lebih baik aku bersabar dan tarik ulur seperti ini. Sambil terus berdo'a semoga kami diberikan jalan jika memang berjodoh.

"Bro, ane kenal nggak sih sama orangnya?"

Kenapa hatiku jadi deg-degan ya. Padahal yang aslinya janjian makan siang kan, Hamzah.

"Ya ente ketemuan aja dulu sama orangnya."

Sebenarnya mataku sudah tinggal 25 watt. Tapi akhirnya aku paksakan juga untuk pergi. Aku minta Pak Amru, driver kantor menemani ke Lotus resto.

Di resto ini, aku pernah beberapa kali merayakan ulang tahun Mama. Aku pikir bisa sekalian membeli soto ayam kampung kesukaan Mama. Aku bersyukur setelah pulang dari rumah Nara, Mama mulai banyak tersenyum. Meskipun saat menemani Papa kontrol ke rumah sakit, keduanya tak banyak bicara.

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang