DUA PULUH TUJUH

1.4K 281 118
                                    

*Big Boss Room*

Zhafran tidak henti terbahak mendengar cerita Andro.

"Terus Sita bilang gimana, An?"

Flash back :

"Saya suka sama kamu, Sita. Sejak pertama interview pas penerimaan karyawan baru."

Sita mengerjapkan matanya seolah tidak percaya.

"Pak Andro, nggak beneran kan? Kali aja Bapak ketukar orang. Soalnya pas lagi interview, name tagnya Sita ketuker sama punya Sely, divisi pemasaran."

Ya kali, saya salah orang Sita. Muka kamu kan nggak mungkin ketuker sama Seli. Andro berujar dalam hati, menahan kesal.

"Memangnya kamu nggak inget, kalau saya yang interview kamu?"

Sita menggeleng.

"Maaf Pak, waktu interview, Sita nggak pakai kacamata. Jadi yang wawancara Sita itu, mukanya kayak rata gitu Pak. Kabur. Sita cuma fokus jawab pertanyaannya aja. Supaya bisa diterima disini. Bapak nggak beneran suka sama Sita kan? Saya masih muda Pak, masih banyak yang lain yang lebih baik dari saya."

Andro menepuk jidat. Ini beneran Sita yang gue taksir nggak sih.

"Saya sudah tua, Sita. Dan kamu juga sudah 25 tahun. Sudah cukup umur untuk nikah sama saya. Saya serius suka sama kamu, karena yang saya cari itu, calon istri. Bukan pacar."

Pandangan mata Sita berkabut dan mulai turun rintik hujan disana.

"Lho, Sita. Kamu kenapa nangis?"

Andro mengambil tissue dan membimbing Sita untuk duduk di sofa.

"Saya cuma benar-benar nggak nyangka kalau Bapak suka sama saya. Saya kirain selama ini yang kasih perhatian sama saya itu Troy. Pak Andro jahat."

Andro ingin mengelus puncak kepala Sita, namun hati kecilnya mencegah. Karena Sita terlalu istimewa menutup dirinya dengan hijab, untuk mencegah tangan lelaki seperti dirinya tidak singgah di tempat yang belum halal.

"Maafkan saya Sita. Saya yang minta tolong ke Troy. Karena saya yang takut kamu pergi menjauh, setelah saya mengungkapkan semua. Saya nggak akan memaksa kamu menjawab iya. Tapi saya minta kamu mempertimbangkan matang permintaan saya. Insya Allah saya tidak main-main."

"Baik Pak, Sita akan bicara sama sahabat dan orangtua dulu. Karena ini semua terlalu mendadak. Jadi Sita perlu waktu untuk berpikir. Sita boleh ijin pergi Pak?"

Sita pun akhirnya pergi dan meninggalkan Andro yang merasa kehilangan.

Zhafran memberikan sebotol air mineral dingin untuk menenangkan Andro yang gelisah.

"Saya salut sama kamu, An. Nggak semua laki-laki punya keberanian untuk menikah. Karena kata Ustadz Imron yang mendampingi saat teman saya Hamzah, ta'aruf. Tanggung jawab seorang laki-laki setelah akad nikah, tidak hanya memberikan nafkah secara lahir, tapi juga nafkah berupa cinta dan kasih sayang terhadap istri dan keluarganya.

Seorang laki-laki juga harus siap menjadi Imam untuk memimpin rumah tangga sesuai ajaran Qur'an dan Sunnah Rasul. Ia juga seorang Ayah yang akan mendidik dan membesarkan anak-anaknya agar kelak menjadi pemimpin di buminya Allah."

Andro memandang kagum dengan pemikiran Bosnya, Zhafran.

"Ternyata memang tidak sesederhana itu ya Pak, tanggung jawab setelah menikah. Saya memang baru mengenal Sita dua tahun ini. Awalnya saya perhatikan, setiap coffeebreak, dia sering ke mushola untuk sholat Dhuha. Sementara mungkin temannya yang lain sibuk dengan hal lain. Dari situlah saya mulai ingin tahu tentang dia dan seperti ada motivasi untuk memperbaiki ilmu agama saya, karena itu berarti saya harus lebih dari dia."

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now