ENAM BELAS

1.4K 244 29
                                    

*Jakarta, jam 12.00*

Ruang perawatan VVIP dengan wallpaper nuansa biru laut serta wangi aromaterapi bidara yang terpasang di dekat pintu masuk, tidak serta merta membuat Zia nyaman.

Mahasiswi semester dua fakultas kedokteran itu, masih memeluk Nara sambil menangis. Dia terlihat tidak betah.

"Jadi ceritanya gimana Zi?"

Nara mengusap kepala Zia yang terbalut kerudung, dengan lembut.

"Sudah seminggu ini aku nggak teratur makan, Bun. Pulang malam karena banyak tugas kelompok. Beberapa kali sempat makan di warung tenda pinggir jalan. Daripada perutnya nggak keisi. Baru sadar seminggu ini, tiap malam badanku panas. Terus diare juga. Tapi nggak sering."

Nara mendengarkan dengan perhatian penuh.

"Tadi pagi ada responsi sama dosen aku, Bun. Orangnya sibuk Bun. Jadi kami berlima sama teman satu kelompok, janjian habis beliau praktek poli di rumah sakit ini juga. Nggak tahu kenapa, pas giliran aku ditanya, kepala sudah nggak kuat. Pusing banget terus akhirnya pingsan. Bun, aku pengen pulang kampung. Nggak enak dirawat disini, nggak ada saudara. Huhu.."

Nara menyeka air mata Zia dengan sapu tangan di dalam tas kecil yang selalu dibawanya.

Di kamar, juga ada Aini dan Qonita, teman satu kos Zia di wisma Salsabila. Keduanya menemani gadis itu, sejak dari IGD sampai kamar rawat.

"Zia yang sabar ya. Aini dan Qonita kan saudara Zia juga. Insya Allah kalau Zia sabar dengan ujian sakit ini, bisa menggugurkan dosa. Seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya. Itu bukan Bunda lho yang bicara. Tapi hadits dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari."

Zia mengangguk lemah.

"Bunda dapat tausiah itu, dari kakak kelas Bunda yang lulusan Madinah?"

Seketika wajah Nara tersipu karena Zia masih mengingat dengan baik, nasihatnya. Dia memang sering mengutip nasihat Kak Hamzah, ketika menengok muridnya yang sakit.

"Iya Bun, Insya Allah Zia akan belajar sabar. Terima kasih ya Bun, sudah jauh-jauh kesini, nengokin Zia. Kakak dan Papa juga katanya mau menyusul."

Nara mempersilahkan kedua teman Zia untuk pulang dan beristirahat. Berdua Zia, Nara mengobrol mendengarkan lagi curhatan gadis itu tentang kesibukannya kuliah. Ada juga ceritanya mengenai temannya yang jahil dan juga beberapa dosennya.

"Bun, aku malu tahu Bun. Tadi aku kan pingsan di depan dokter Wildan. Beliau itu dosen aku, masih muda, terus belum nikah Bun. Idola banget pokoknya, di kampus. Beliau juga dosen wali aku. Pokoknya baik banget beliau. Dosen idaman."

Nara tersenyum. Wildan? Apa Kak Wildan ya? Tadi mereka sempat bertemu di lobi rumah sakit.

Tiba-tiba dia teringat pesan Alvira, sahabatnya. Ooh, berarti benar Kak Wildan yang merawat Zia. Kak Wildan memang sejak dulu populer dimana pun. Dia dengan dua kakak kelasnya lagi. Kak Awan dan Kak Zhafran.

Kak Zhafran...

Sejak Nara meminta lelaki itu pergi dari rumahnya setelah pemakaman Ayah, Zhafran tidak pernah muncul lagi di depannya. Ia hanya mendengar kabar, Zhafran melanjutkan kuliah keluar negeri.

"Dokter Wildan yang merawat aku Bun. Kata beliau aku kena typhoid atau tipes."

"Insya Allah Zia akan sembuh. Sabar dulu beberapa hari, biar obatnya masuk. Dokter Wildan itu kakak kelas Bunda waktu SMA. Sebelum Bunda pindah sekolah ke desa."

"Serius Bun? Dari dulu beliau sudah jadi idola ya Bun?"

Pandangan Nara menerawang jauh.

"Mmm... Gimana ya, bisa dibilang begitu. Dokter Wildan termasuk pintar, suka melucu juga. Sama dua temannya lagi juga pintar."

Baghdad and Madinah حيث تعيش القصص. اكتشف الآن