TUJUH

1.4K 260 74
                                    

*Rumah Nara*

Sudah dua pekan Zhafran tinggal di paviliun rumah milik orang tua Nara.
Karena kamarnya memang terpisah, ia jarang bertemu gadis itu. Atau mungkin Nara yang sengaja menghindarinya.

Ia sudah bertekad tidak hanya ikut makan dan tidur di situ, tapi ada hal yang bisa dibantu olehnya. Sore hari, ia menyapu daun-daun yang mengotori pekarangan rumah. Ia juga mencuci motor yang kini dipakainya setiap hari. Sebenarnya ia berharap Nara mau ikut berangkat sekolah dan pulang bersamanya.

Tapi gadis itu selalu berangkat lebih awal dengan alasan, helmnya cuma ada 1 atau memang sudah jadi hobi Nara naik angkutan umum milik Ayah sahabatnya.

Malam ini, Zhafran memutuskan untuk belajar di ruang tamu. Sebenarnya, Kang Sueb -salah satu dari driver Mama- setiap hari selalu mengiriminya makanan dan juga memberikannya amplop. Biasanya memang Kang Sueb datang ba'da Isya.

Tidak tanggung-tanggung, Mama menyelipkan uang dengan nominal 2 juta setiap hari. Dengan berat hati, Zhafran mengambil lima lembar uang seratus dan sisanya ia menitipkan lagi untuk dikembalikan ke Mama. Tentu saja Mama menelepon balik sambil menangis, meminta putranya untuk pulang ke rumah.

Sambil latihan mengerjakan soal ujian akhir, Zhafran duduk bersila di kursi depan. Tidak ada sofa yang empuk seperti di rumahnya. Hanya ada kursi rotan panjang dan kini lelaki muda itu memiliki fans nyamuk-nyamuk nakal.

Sejak hari pertama menginap, ia sudah bersahabat dengan nyamuk. Karenanya keesokan hari, ia membeli lotion dan juga raket anti nyamuk.

Bu Ina datang membawa sepiring pisang goreng dan singkong yang masih hangat. Nyamannya numpang kos di rumah Nara. Tapi tuh anak kemana ya. Di sekolah pun Zhafran jarang bertemu karena ia kini sibuk les menjelang ujian kelas 3.

Baru ia hendak bertanya kemana Nara, gadis itu keluar dari dalam kamar menuju ruang tamu.

"Na, mau kemana malam-malam?"

"Beli galon. Airnya habis." Nara menjawab pendek.

Gadis itu membungkus piyama tidurnya dengan jaket sekolah berwarna merah marun. Kayak nggak ada jaket lain aja buat dipakai.

"Memang belinya dimana?"

Nara menunjuk warung beberapa meter di depan rumah.

Beberapa menit kemudian Zhafran terkejut melihat dari jauh Nara membawa satu air mineral galon yang penuh. Ia mengira penjualnya sendiri yang akan mengantar.

"Eh sini, gue bantu bawa. Gue takut terjadi sesuatu dengan rahim kamu."

"Kakak berlebihan banget."

Dengan gagah Nara masih membawa galon penuh itu di dalam dekapannya. Ini cewek atau Samson sih. Atau jangan-jangan anak buahnya Wonder Woman. Zhafran garuk kepala sendiri.

"Sini, aku aja yang bawa. Memangnya tukang jual galonnya nggak bisa bawa kesini? Kok jadi self service."

"Bapaknya yang jual udah tua. Entar sakit saraf kejepit lagi, kalau bawa-bawa galon kesini."

Semula Nara menolak bantuanku, tapi akhirnya dia mengalah. Setelah semua usahaku memperbaiki hubungan kami yang retak, gagal. Akhirnya aku memakai jurus pamungkas. Walau sebenarnya aku tidak ingin.

"Mulai hari ini, anggap aja aku Abang tertua kamu. Aku yang akan membantu kamu, termasuk bawa-bawa barang berat kayak gini. Aku juga siap melindungi dan jadi tempat curhat. Aku bersedia mengajari pelajaran yang kamu nggak bisa."

Susah payah aku mengutarakan semua isi kepala. Yang ada Nara hanya memandangku datar.

"Kakak kesambit apaan deh. Kok ngomongnya jadi 'aku-kamu'. Perasaan di kamar depan, adanya malaikat doang. Kan Om Maul sering mengaji."

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now