DUA PULUH SEMBILAN

1.5K 266 66
                                    

*Pekan Keempat*

Zhafran menepati kata-katanya. Ia mau bersabar menunggu Nara sampai tepat 1 bulan sesuai permintaan gadis itu. Itu sungguh melegakan hati gadis Nara.

Nara pun menepati janjinya. Jika dia bersedia menerima niat baik Zhafran, maka mereka akan mulai ta'aruf yang sesungguhnya. Saling bertemu untuk menguatkan bahwa mereka akan memasuki jenjang berikutnya.

Tentu saja berita bahagia itu tidak lepas dari telinga Hamzah. Temannya yang 'lurus' soal agama itu, mendapat kabar dari Ahmed. Karena Zhafran meminta Ahmed dan istrinya, Haniyya menjadi perantara pertemuan antara Nara dan dirinya.

Hamzah dan Azkia telah lebih dulu sampai pada tahap khitbah pekan ini. Bulan depan mereka akan melangsungkan walimatul 'ursy. Zhafran ikut berbahagia dan berdo'a semoga langkahnya untuk menyusul Hamzah, mendapat ridho-Nya.

Ahmed memimpin teleconference dari flat miliknya, di UK. Sesi pertama, ia memulai dengan basmallah dan surah Al-Fatihah. Kemudian Ahmed menanyakan mengenai hal-hal mendasar.

Seperti nilai-nilai apa yang Zhafran dan Nara anut selama ini. Tentu ini tidak lepas dari pengaruh pola asuh dan lingkungan yang selama ini membentuk karakter dan kepribadian keduanya.

Sebagai contoh, Zhafran bercerita bahwa sejak kecil ia sudah diajarkan kedisplinan oleh Papanya. Sehingga kadang ia sulit mentolerir kesalahan seseorang yang tidak disiplin. Semisal terlambat mengerjakan sesuatu atau terlihat santai. Ia kadang bisa tidak sabaran dan mudah terpancing emosi melihat sesuatu yang tidak sesuai.

Nara teringat peristiwa sembilan tahun lalu. Ketika dia dan Ayahnya menjemput Zhafran yang bagaikan anak hilang. Di bawah temaram lampu di ujung jalan, Zhafran berdiri membawa ransel, sambil menendang kerikil. Wajahnya terlihat kesal karena terlalu lama menunggu.

Lelaki itu berkeluh kesah karena sudah menelepon Nara lama. Tapi Nara tidak bisa berjalan cepat. Sebelah kaki Ayahnya masih berjalan diseret, terkena penyakit stroke. Begitu Nara menjemput, Zhafran malah sengaja berjalan mendahuluinya.

Nara kebalikan dari Zhafran. Dia bisa disiplin, tapi lebih banyak santuy. Sempat tinggal sementara selama dua minggu di rumah Nara, Zhafran sudah hafal, setiap selesai sholat Isya, Nara langsung tidur tanpa beban akan hari esok. Padahal sekolah saat itu sedang banyak ulangan harian.

Zhafran heran, Nara baru bangun jam 1 pagi, padahal seperti belum belajar sama sekali. Jam 4 pagi, Nara sudah memberikan makan ayam dan pukul 5 sudah siap berangkat ke pasar dengan Ayahnya, setelah itu langsung ke sekolah. Mungkin itu sebabnya Zhafran memperhatikan, kadang Nara suka tertidur di mushola saat jam sholat Dhuha, karena sebenarnya masih mengantuk.

Zhafran hanya iseng melihat di tangga menuju tempat mushola perempuan. Ada sepasang sepatu lusuh berwarna hitam dengan dua lubang kecil dengan bekas benang yang dijahit. Benang itu berwarna pink, begitu kontras dengan warna sepatunya. Jahitannya pun tidak rapi dan bentuknya rada aneh. Sepatu kanan berbentuk pita. Sepatu kiri berbentuk love.

Hampir semua sepatu siswa Duta Pertiwi branded. Hanya beberapa siswa yang memakai sepatu biasa. Termasuk Nara yang dengan segala kesederhanaannya, justru membuat Zhafran sulit berpaling.

Ahmed melanjutkan. Pengalamannya menikah di tahun ketujuh dengan Haniyya, membuatnya lebih banyak menasihati Zhafran dan Nara.

"Banyak perbedaan antara suami istri selama berumah tangga, maka jadikan itu sesuatu yang indah. Kita menikah untuk menyempurnakan agama dan bukan untuk menjadi manusia yang sempurna."

Ahmed, yang kini menjadi dosen di UK, sudah fasih berbahasa Indonesia. Zhafran sering mengajari Ahmed bahasa dan Ahmed ganti mengajarkan Zhafran bahasa Arab.

Baghdad and Madinah Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum