SEPULUH

1.3K 244 57
                                    

Langkah Nara berhenti di depan pintu masuk puskesmas. Sudah ada Om Maulana, adik Ayah dan Ibunya. Ibu masih terduduk berlinang air mata.

Nara ditemani Kak Thia, turun dari taksi.

"Kak Maul?"

Kak Thia menghampiri adik Ayah. Ternyata keduanya sudah saling mengenal.

"Nara, ini Kak Fathia Azzahra."

Jadi, kak Thia adalah calon istri Om Maul. Dunia ternyata begitu sempit, seperti skala di dalam peta.

"Ayahnya Nara?"

"Rencana mau dirujuk ke rumah sakit. Aku sedang meminjam ambulans siaga, menuju kesini. Ini serangan stroke kedua. Kata dokter, kondisi Ayah Adi tidak sadar."

Nara memeluk Ibu yang masih menangis. Berdua Ibu, dia berjalan ke dalam ruang pasien dan mendapati Ayahnya terkulai dengan selang infus dan selang oksigen yang terpasang di hidung.

"Adik putrinya Bapak Karnadi?"

Seorang dokter laki-laki bernama dokter Aswin mempersilahkan Nara duduk.

"Ya Dokter."

"Tadi saya sudah menjelaskan kondisi Ayah, ke Ibu dan adik Ayahnya. Pak Karnadi datang sudah tidak sadar. Sebelum jatuh di kamar mandi, kata Ibu, beliau sempat muntah. Sampai di puskesmas, tekanan darahnya 180/110. Kami menduga ini stroke perdarahan. Tapi tetap harus dibuktikan dengan Scanning kepala."

Nara mengangguk tanda mengerti. Sewaktu serangan stroke pertama, dia menunggui Ayah di rumah sakit. Sehingga dia sedikit paham penjelasan dokter saat ini.

"Kalau bisa, secepatnya dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Karena kondisinya kritis. Mohon maaf, tapi saya harus menyampaikan kemungkinan yang terburuk, pasien bisa berakhir dengan kematian. Tapi bila segera ditangani, kita berharap Ayah adik bisa tertolong."

Nara hampir lemas mendengarnya. Sampai di luar puskesmas, Ibu membicarakan masalah biaya perawatan Ayah nanti di rumah sakit.

Om Maul mengatakan akan memakai biaya untuk rencana pernikahannya. Nara tidak sampai hati mendengarnya. Apalagi dia menangkap sorot mata kecewa di wajah Kak Thia, ketika mendengar keputusan calon suaminya.

Namun sebentar kemudian wajah Kak Thia kembali cerah, seolah menyembunyikan kesedihannya. Bagaimana pun, anak Ayah adalah dia. Nara tidak mungkin membiarkan beban berat ini semua dipikul oleh Adiknya Ayah.

Bunyi sirine ambulans terdengar mendekati pintu gerbang puskesmas.

"Bu, Nara menyusul ke rumah sakit ya. Ada barang tertinggal di rumah, yang harus Nara ambil."

Ibu mengangguk. Om Maul meminta calon istrinya, Kak Thia untuk pulang ke rumah orangtuanya. Ia yang akan menemani Ibu ke rumah sakit.

Nara melambaikan tangan dan memesan motor melalui aplikasi online. Dari uang 250 ribu yang pernah dia simpan sebagai honor menulisnya, dia masih memiliki 100 ribu. Sisanya sudah dia berikan ke Ibu untuk membeli bahan membuat kue.

Benarkah keputusan yang hendak dia ambil. Dia tidak tahu. Tapi paling tidak, ini yang bisa dia lakukan sekarang.

Tiga puluh menit Nara menempuh perjalanan, melintasi jalanan yang padat merayap bagai ular naga. Tidak ada dering di ponselnya. Karena dia sengaja mematikan. Setelah selesai semua urusan, dia akan segera ke rumah sakit.

Sampai di depan gedung kantor megah 20 lantai dengan tulisan Nusantara Berdikari, Nara tampak meragu. Dia bahkan masih berdiri memakai seragam putih abu.

"Assalaamu'alaikum. Maaf apa saya bisa bertemu dengan Bapak Faisal Amran?"

Resepsionis di lobi ruangan, menyambutnya dengan ramah.

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now