LIMA

1.7K 251 41
                                    

Nara membuka amplop yang diberikan Kak Laila tadi siang. Dia tidak percaya sudah mendapat honor, padahal cerita yang dibuatnya baru akan terbit di Buletin Rohis bulan depan. Kak Laila memuji tulisannya karena berisi tentang optimisme generasi muda yang memiliki keterbatasan, namun tetap berjuang.

Ia mengisi rubrik cerita bersambung yang mengisahkan persahabatannya, dengan judul "Negeri Impian". Tidak akan ada yang tahu cerita seru bersama keempat sahabatnya, karena anak-anak di sekolah elite ini belum pernah merasakannya.

Sekolah sambil membantu orang tua berjualan. Belajar bersama dari buku-buku milik Kakak kelas yang baik hati dan mau meminjamkan buku bekas untuk mereka. Atau melayani pembeli di pasar sambil membaca buku jika sedang sepi pembeli. Kadang kalau bosan baca buku pelajaran, Nara juga suka membaca novel.

Pelan Nara membuka isi amplop. Ada 5 lembar uang 50 ribuan. Subhanallah... Banyak sekali, bahkan dia adalah penulis amatir yang baru sekali ini menulis cerita. Nara memakai nama pena 'Madinah'.

Ini bukan tentang cita-citanya yang ingin kuliah di kota itu. Madinah adalah salah satu kota destinasi yang ingin dikunjunginya pertama kali setelah Makkah, ketika menginjakkan kaki ke luar negeri.

Suatu saat nanti dia ingin umroh, haji dan ziarah ke makam Rasulullah disana. Baginya kota Madinah menjadi filosofi tersendiri dalam hidupnya. Sejak dia duduk di kelas 6 SD dan guru agamanya, Pak Said bercerita tentang perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah.

Bagaimana penduduk Madinah menyambut kedatangan Rasulullah dengan suka cita. Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshor di Madinah dengan kaum Muhajirin yang datang dari kota Makkah. Mereka yang berhijrah meninggalkan harta benda mereka di Makkah dan kaum Anshor membantu dan memperlakukan mereka seperti saudara kandungnya sendiri.

Nara keluar kamar dan hendak memberikan uang itu untuk modal jualan Ibu. Sampai di dekat ruang tamu, terdengar suara Om Maul dengan Ayah.

"Bang, Insya Allah bulan ini saya mau pindah ke rumah baru. Sudah hampir lunas cicilannya. Motor juga akan saya kembalikan. Alhamdulillah ada rezeki tabungan untuk membeli mobil second."

Ayah ikut mengucapkan hamdalah.

"Abang ikut keputusan kamu saja. Kalau memang hasil istikhorohmu sudah mantap menikah, Abang akan menemani melamar ke orang tuanya."

"Alhamdulillah, terima kasih Bang. Insya Allah dua pekan lagi saya akan kesana untuk khitbah. Sebelumnya saya mau minta tolong Nara menemani untuk membeli barang-barang untuk seserahan. Karena Kak Ina pasti sibuk jualan."

Terdengar suara Ayah memanggil Nara. Padahal sedari tadi yang dicari sudah berdiri di balik pintu. Jujur Nara ikut senang mendengar kabar Om Maul yang sudah merencanakan pernikahan.

Meskipun itu berarti dia harus siap bersedih karena kamar paviliun di depan rumah, sudah akan ditinggalkan oleh Omnya. Disana, tempat adik Ayah, sering mengajarinya pelajaran matematika, sejak ia SD. Nara yang tadinya tidak suka matematika, kini sungguh menyukainya.

Hatinya juga berselimut duka, karena tidak ada lagi yang akan mengantarnya ke sekolah, kalau nanti Om Maul sudah menikah.

"Iya Ayah..."

Nara masuk ke ruang tamu. Om Maul mengelus puncak kepala keponakan tersayangnya.

"Nara, Insya Allah dua bulan lagi Om akan menikah. Nanti pas Om menikah, Nara pakai kerudung mau ya. Karena dress code yang digunakan untuk anggota keluarga perempuan, semuanya berhijab."

Nara tertunduk malu. Dalam hatinya, sudah ada niatan untuk berhijab. Tepatnya setelah dia mengenal Kak Hamzah. Karena di beberapa tausiah Kak Hamzah saat mengisi kultum ba'da Zhuhur. Lelaki itu sering menjelaskan bahwa Allah memerintahkan perempuan yang sudah akil baligh untuk mengulurkan hijab sampai ke dada.

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now