DUA BELAS

1.3K 256 36
                                    

*Desa Mardimulya*

Nara menghirup udara segar, saat menjejakkan kaki di rumah Kakek. Rumah dengan ornamen kayu model joglo, masih terawat rapi. Dia hanya ingat, saat masih SD, hampir setiap hari raya Idul fitri, dia sekeluarga kesini.

Namun setelah itu, sudah tidak pernah lagi. Ibu turun dari mobil travel dan mereka disambut Bu Siti, yang selama ini merawat dan menunggu rumah milik Kakek.

"Ini Nara? Subhanallah, Ibu pangling. Sudah besar, pakai kerudung
sekarang. Tambah cantik."

Bu Siti memeluk Nara dan juga Ibunya. Banyak nasihat supaya Ibu tetap sabar dengan ujian ini. Ibu tampak masih terpukul dengan kepergian Ayah yang begitu mendadak.

"Hardi tahu kamu mau pulang kampung, Ina. Tadinya ia mau menyusul ke Jakarta, takziah kesana. Tapi ia lagi panen. Dia masih sering menanyakan kabar kamu."

Nara tidak begitu paham siapa yang sedang dibicarakan. Apa mungkin itu Om Hardian, teman sekolah Ayah dan ibu. Kedua orangtuanya memang berasal dari kampung yang bersebelahan.

Nara merasa lelah. Disini tidak banyak teman sebayanya. Kebanyakan lulus SD, mereka melanjutkan bersekolah di kota. Tidak sedikit yang gadis, selepas SMA, memutuskan untuk berkeluarga.

Desa Kakek, menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tidak ada gadis dan jejaka yang menikah usia muda, karena 'kecelakaan' atau hamil di luar pernikahan. Semua sudah diatur sejak Kakek menjadi Carik desa. Tentang menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, sesuai tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Begitu yang pernah diceritakan almarhum Ayah pada Nara.

Seharian Nara membantu menata pakaian dari koper. Dia menyusun di lemari dan setelah itu ke dapur untuk menyiapkan hidangan di meja. Bu Siti tidak memperbolehkan Ibu Nara memasak. Mungkin karena Ibu masih terlihat lelah. Bermalam-malam Nara menjumpai Ibu di kamar, masih sering menangis sambil menatap foto pernikahan di atas meja rias.

Kehilangan orang yang dicintai, dia mesti mengalami di kala usianya belum 17 tahun. Sungguh Nara  merindukan saat-saat bersama Ayah. Ketika almarhum Ayah masih jaya sebagai pedagang pakaian, Nara pernah berharap Ayah tidak terlalu sibuk.

Lalu seolah do'anya terkabul dan kemudian usaha Ayah bangkrut. Nara menyesal, dia tidak bermaksud mendo'akan keburukan. Tapi Ayah berusaha menerima dengan ikhlas, meski kadang terlihat kesedihan di wajahnya.

Mereka pernah merasakan punya beberapa petak rumah yang kemudian dikontrakan. Mobil Innova hitam dan juga 2 motor bebek. Setiap liburan sekolah, Ayah mengajak Nara dan Ibu jalan-jalan ke tempat wisata. Ancol, Taman Mini, Taman Safari, kebun binatang Ragunan, pantai Carita, semua telah mereka kunjungi.

Ayah membahagiakan Nara pada masa kecilnya. Setelah beranjak remaja, dia sudah tidak terlalu ingin bepergian untuk tamasya. Dia hanya ingin banyak menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu di rumah. Juga dengan buku-buku yang tersusun rapi di kamarnya.

Pergi di dalam angkutan umum bersama Ayah setiap pukul 5 pagi, adalah hal yang juga dia rindukan. Hampir setiap hari dia mendengar cerita Ayah, tentang masa kejayaannya dulu. Mungkin bagi banyak orang, seperti mengulang cerita bahagia.

Tapi apa pun kondisi mereka kini, Ayah selalu mengajarinya untuk bersyukur. Tetap berbuat baik meski mungkin ada banyak orang yang bermaksud sebaliknya. Seperti dua teman Ayah yang menipu dan membawa kabur modal usaha Ayah. Sehingga satu persatu rumah dan mobil mereka, terpaksa dijual. Ayah tidak melaporkan temannya ke polisi dan membiarkan kasusnya berlalu.

Ayahnya pun hanya manusia biasa. Kadang di tengah lelahnya, Ayah juga acapkali tersulut amarah. Di kala itu, Ibu yang akan menenangkan. Nara hanya bisa diam, karena kadang dia juga takut ketika Ayah marah. Tapi kemudian beliau tidak segan untuk minta maaf sesudahnya.

Baghdad and Madinah Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu