SEMBILAN

1.3K 241 18
                                    

*City of Fame*

Tokyo : Gaiss... Alhamdulillah aku mau dikursusin bahasa Jepang sama Papanya Kak Awan. Insya Allah mulai les pas nanti liburan semester.

Sydney : Congratulate ya... Semangat. By the way, ulangan matematikanya tadi susah beud ya. Jadi kangen Nara nih. Biasanya yang suka nerangin rumus, Nara.

Amsterdam : Nara..  Kamu sudah betah di sekolah baru? Jadi pindah ke sini kah, tahun depan?

London : Nara.. Kok nggak ada suaranya. Padahal dia online lho.

Nara memandang layar ponsel sambil menghapus air mata. Selesai sholat Dhuha, dia masih berada disini, di Mushola sekolah. Menikmati dinginnya ubin dan semilir udara pendingin ruangan di lantai dua, yang dikhususkan untuk perempuan.

Kemarin pulang sekolah, lagi-lagi ada sekumpulan kakak kelasnya yang menariknya di belakang gudang sekolah. Disana bebas CCTV.

Mereka memang tidak melakukan kekerasan fisik karena berulang kali guru memberi peringatan keras setiap kali apel pagi.

"Kamu yang namanya Inara? Kayaknya lebih pantas dipanggil Inorak. Jangan sombong, mentang-mentang banyak malaikat pelindung kamu disini. Zhafran, Hamzah, Laila. Mereka semua akan lulus tahun depan. Kita lihat, kamu masih bisa bertahan nggak sekolah disini, kalau mereka semua sudah nggak ada."

Maureen...

Salah satu nama kakak kelas yang duduk di dekatnya, hanya berdiam diri ketika melihat temannya yang bernama Miranda, mendekati Nara dengan wajah culas.

"Tahun depan Insya Allah saya akan pindah ke SMA 1 Kak." dengan berani Nara menjawab.

Salah seorang yang bernama Sherly bertepuk tangan.

"Hebat dong, di sana kan sekolah negeri favorit. Jadi kamu nggak perlu menyandang gelar alumni Duta Pertiwi."

"Iya Kak, disana lebih egaliter dan semua memiliki status yang sama. Tidak ada miskin dan kaya. Semua berhak berjuang mengejar mimpi yang sama. Ingin kuliah di kampus favorit." Nara teringat nasihat Kak Thia, guru mentoring setiap kajian Jum'at.

Dia tidak perlu takut dengan manusia. Manusia itu hanya perlu takut pada Allah. Takut tidak memperoleh rahmat Allah, takut tidak mendapat limpahan cinta-Nya dan takut bila kelak di hari Akhir tidak dapat bertemu Allah.

Terdengar suara perempuan terbahak-bahak.

Kak Maureen...

Nara sudah sering mendengar cerita Sita, teman sebangkunya. Kalau Kak Maureen ini adalah teman Kak Zhafran. Bahkan pernah digosipkan pacaran, sebelum Kak Zhafran dengan kak Dafina.

"Kamu kira gampang pindah dari Duta Pertiwi ke SMA Negeri 1? Kamu harus masuk peringkat 3 besar setiap semester. Kita lihat setahun ke depan, kamu bisa atau nggak. Kamu kelas 1C kan? Banyak anak pintar yang 1 kelas sama kamu. Bahkan masuk 10 besar saja mungkin kamu sulit. Ayo gaiss, kita pulang..."

Nara terduduk lemas. Dua pekan lalu, kejadian yang sama berlangsung. Sita yang menemukannya sedang menangis disini. Teman barunya itu mencari lantaran jam istirahat sudah akan berakhir, tapi Nara belum juga masuk ke kelas.

Dear Allah...

Salahkah Nara terlahir di keluarga miskin. Salahkah Nara, berpenampilan berbeda dengan mereka. Nara benci semuanya yang ada di sekolah ini. Nara benci selalu direndahkan seperti ini. Menjadi lemah dan miskin bukan kemauan Nara.

"Nara..."

Suara bariton itu... Dia mengenalnya.

Gadis itu mengambil sapu tangan dari saku kemeja sekolah dan menghapus air mata di pipi. Dia tidak mau ketahuan habis menangis.

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now