DUA PULUH SATU

1.4K 251 65
                                    

Istri Pak Faisal meminum teh buatan Nara, beberapa teguk.

"Bu Ina, mohon maaf apabila kurang berkenan atas kedatangan kami yang tiba-tiba. Seperti yang semalam saya kabarkan melalui telepon. Zhafran putra saya, dengan niat baik hendak melamar Nara."

Ibu Nara terdiam sejenak.

"Jujur Bu, saya di satu sisi senang, ada lelaki baik yang datang melamar Nara. Tapi di sisi lain, saya berat jika harus kehilangan Nara. Bagaimana juga dengan suami Ibu. Ibu juga tahu kan, sembilan tahun lalu Pak Faisal meminta kami kembali ke desa. Tidak lama setelah Ayahnya Nara wafat. Pak Faisal tidak akan pernah merestui hubungan anak-anak kita."

Kedua mata Mama Zhafran, kembali berkaca-kaca. Ya, itu semua terjadi karena suaminya masih menyimpan rasa kecewa setelah ditinggal menikah oleh wanita pujaannya.

"Tolong maafkan suami saya, Bu Ina. Papa Zhafran terlahir dari keluarga yang banyak menuntut kesempurnaan. Sehingga sifatnya keras dan sulit memahami orang lain. Tapi saya percaya, ia bisa berubah. Seperti semalam, ketika Zhafran mengatakan akan melamar Nara. Beliau memberikan restu."

Ibu Nara seperti tidak percaya mendengarnya. Dia tidak pernah tahu alasan Faisal begitu membencinya. Apakah mungkin karena dia menikah lebih dulu, tapi Ibu Nara memilih Ayah Nara karena lelaki itu adalah sosok yang dia kagumi, penyayang dan bertanggung jawab.

Sewaktu hidup bersama Ayah Nara, dia pernah merasakan hidup mewah dan berkecukupan. Sebelum Allah menguji mereka dengan bisnis yang bangkrut dan juga Ayah Nara terkena stroke. Dia tahu Faisal masih menaruh kasihan padanya dan memberikan pekerjaan pada suaminya.

Kalau sebagian orang mungkin malu, bagaimana seorang pengusaha pakaian bisa menjadi tukang parkir di perusahaan elite. Lain halnya dengan Karnadi, selama pekerjaan itu halal untuknya, ia akan menerima dan menjalani sepenuh hati. Almarhum Ayah Nara mengajarkan mereka untuk selalu bersyukur dan bersabar.

"Papanya Zhafran sakit kanker usus. Baru terdiagnosis 4 bulan ini. Semoga dengan ujian sakit yang diberikan, Papa Zhafran bisa kembali dekat dengan Allah."

Ibu Nara terkejut mendengarnya.

"Semoga Bu Faisal sabar mendampingi Bapak. Mendampingi suami yang sakit, adalah perjuangan seorang istri."

"Terima kasih do'anya Bu. Semua ada hikmahnya. Sekarang saya baru mengerti. Kalau Papanya Zhafran tidak sakit, mungkin Zhafran tidak akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Bisa jadi ia pun tidak bertemu Nara."

Selalu ada hikmah di balik suatu musibah. Ibu Nara juga tidak menyangka bisa pulang kembali ke desa dan merasakan hidup damai di sini. Meskipun berulang kali menolak pinangan Hardian, sahabat almarhum suaminya. Tapi lelaki itu tetap bersikap baik.

Nara bisa melanjutkan kuliah, juga karena dibiayai oleh Hardian. Lelaki itu menganggap Nara seperti putrinya sendiri. Demikian juga Fauzi dan Fauziah, anak Hardian dari mendiang istrinya, selama ini telah dia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Assalaamu'alaikum. Bu, Nara pulang."

Terdengar bunyi gemericik air di depan pintu ruang tamu. Nara mencuci tangan sebelum masuk ke rumah.

"Wa'alaikumsalam."

Mama Nara menyambut dan membiarkan Nara merapatkan jaket. Gadis itu duduk di sebelah Ibu. Zhafran menyusul masuk. Wajah lelaki itu lagi-lagi berubah datar.

"Bu Ina, saya mohon izin untuk meminang Nara menjadi calon istri saya. Mohon maaf apabila kedatangan kami malam ini, mungkin terkesan mendadak. Tapi mengenai keputusan ini, telah saya pikirkan bertahun-tahun."

Kedua pipi Nara bersemu merah, mendengar sekali lagi Zhafran mengutarakan maksud baiknya.

"Maaf Nak, Ibu ingin tahu satu hal. Mengapa Nak Zhafran memilih Nara, putri Ibu? Bukankah banyak perempuan di luar sana, yang lebih baik. Yang setara dengan Nak Zhafran dan berpendidikan tinggi."

Baghdad and Madinah Where stories live. Discover now