DUA PULUH

1.4K 255 73
                                    

*Desa Mardimulya, rumah Nara*

Sorot mata yang tadinya dingin dan membeku, seketika itu berubah menjadi teduh ketika melihat Nara keluar dari balik tirai pembatas antara ruang tamu dan ruang belakang.

Kak Zhafran?

Zhafran menatap dengan cermat ekspresi terkejut dari gadis itu. Bahkan Nara tampak gemetar membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan sepiring kue talam dan pastel yang dibuat Ibu tadi sore.

"Assalaamu'alaikum Nara, bagaimana kabarmu Nak? Masih ingat saya kan?"

Nara menjawab salam lemah. Wajah cantik milik perempuan yang mirip dengan Kak Zhafran, pastilah ini Mamanya.

"Nara, ini Mamaku. Kami kesini hendak silaturahim ke rumah Nara dan Bu Ina."

Zhafran menggenggam jemari Mamanya, seakan menguatkan hati ketika Mama melihat ke arah Ibu Ina. Ada rasa tidak nyaman yang ia tangkap, baik itu dari sikap Nara. Maupun juga Mama. Meskipun Mama berusaha menyapa Nara ramah. Tapi ia tahu tidak mudah bagi Mama, bertemu dengan perempuan yang pernah dicintai Papa.

Bagaimana cara Zhafran membuat Nara nyaman dengan kehadirannya, ia juga tidak tahu. Biarlah mengalir apa adanya.

"Silahkan diminum dulu Bu Faisal, Nak Zhafran. Cuma ada ini saja."

Tanpa malu-malu lelaki muda itu mengambil pastel yang masih hangat dan menyuapi ke bibir Mama. Timbul sedikit percikan hangat di hati Nara, melihat pemandangan itu. Dia selalu mengagumi interaksi antara Ibu dan anak lelakinya.

"Aku tahu dari Sita, Nara mengajar matematika di SMA Terbuka. Apa sekolahnya jauh dari sini?"

Lelaki itu mencoba memecah kekakuan di antara mereka.

"Nggak jauh. Bisa jalan kaki, hanya 15 menit dari sini."

Nara memutus kontak mata dengan Zhafran. Gadis itu terlihat gugup. Apa sebenarnya yang laki-laki ini inginkan. Mengapa mendadak datang ke rumahnya. Berjuta tanda tanya berlarian di benaknya.

"Kalau boleh, saya ingin melihat sekolah tempat Nara mengajar."

"Hah? Malam-malam begini? Untuk apa?"

Bu Ina, ibu Nara tersenyum.

"Ya nggak apa-apa Nak. Nak Zhafran kan tamu kita. Sudah jauh-jauh datang dari Jakarta."

Wajah Nara hampir cemberut, tapi dengan pandai dia pura-pura tersenyum.

"Tapi jangan lama-lama ya Kak. Sudah malam. Besok pagi Nara juga mesti berangkat pagi, mengajar. Bu, Nara boleh ajak Bu Siti ya, buat temani. Agak gelap soalnya kalau sudah malam begini."

"Iya nggak apa-apa. Ibu disini biar mengobrol dengan Bu Faisal."

Nara mengambil jaket dan bersama Bu Siti yang tadinya baru mau beristirahat di kamar, akhirnya ikut menemani gadis itu. Keduanya akhirnya pamit pergi.

Sepanjang perjalanan, Nara tidak menyangka hanya angin malam yang berhembus, menemani mereka. Juga suara binatang malam. Bu Siti sendiri kasihan, terlihat mengantuk karena sejak pagi membantu menjaga warung makan kecil-kecilan di depan rumah mereka.

Mereka menyusuri jalan setapak, melewati jalan yang cukup gelap dan kaki Nara tersandung. Ada batu-batu kecil yang masuk ke sepatu dan sebelah sepatu gadis itu sampai terlepas.

"Aduh..."

"Kenapa Na?"

Zhafran yang semula berjalan beberapa meter di depannya, ikut berhenti.

"Ada batu masuk ke dalam sepatuku."

Keduanya berjongkok dan Bu Siti membantu menyenteri.

Nara terkejut ketika Zhafran spontan mengambil sepatunya dan mengeluarkan beberapa bongkah batu kerikil. Aduh, untung saja dia rajin mencuci sepatu dan tidak lupa menyemprotnya dengan pewangi.

Baghdad and Madinah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang