12| Zona Nyaman

27 11 4
                                    

Terkadang lo harus keluar dari zona nyaman untuk bisa maju. Percaya sama gue, dengan lo milih tetep bersembunyi tanpa nunjukin diri lo pada Dunia, kemungkinan besar lo bakal tetap disitu, diam terus, selamanya. Mungkin saja.

••••••

"Tapi----" Mira tak mampu melanjutkan kata-katanya, sementara Angel tampak sangat menanti Mira untuk berkata, terlihat dari wajahnya yang penasaran.

"Maaf tapi aku---"

"Kenapa hm?  Lo takut memulai? Atau takut mengalami kegagalan? Ataukah karena rasa trauma lo terhadap keramaian?" tanya Angel, sementara Mira terdiam, seolah sama sekali tak mempunyai kata untuk dijadikan jawaban.

Angel menghela napas, setelah sekian lama keduanya sama-sama terdiam. "Gue paham apa yang lo rasa."

Mira menunduk. "Maaf," lirihnya pelan.

"Enggak usah minta maaf sama gue Mir, lo nggak salah," tutur Angel, "maafin juga kalau kata-kata gue terdengar seolah maksa lo. Maaf."

Mira mengangguk kemudian tersenyum canggung. "Bukannya aku enggak mau. Hanya saja, kesunyian ini seolah menarikku. Bukannya aku enggak setuju dengan tawaranmu, hanya saja, aku sudah nyaman dengan kesunyian seperti ini," ungkapnya.

"Gue tau apa yang lo rasa," sejenak Angel menghela napas, sebelum akhirnya kembali berkata, "Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Jalan yang bisa orang-orang pilih pun berbeda-beda. Ada yang memilih tetap mencoba, keluar dari zona nyaman dan bekerja keras, dan ada juga yang cuma berdiam diri dalam zona nyaman. Tiap orang punya takdirnya masing-masing."

Suasana mendadak kembali terasa hening. Hanya beberapa helaan napas yang terdengar. Sejujurnya, Angel mengatakan semuanya kepada Mira, bukan untuk membuat sahabatnya itu merasa bersalah dan gundah. Angel tahu itu walau Mira tak mengatakannya, setidaknya Angel telah memahami semua. Keterdiaman Mira selama ini, telah menjawab segalanya. Sahabatnya itu ingin menggapai impian, namun tak mau keluar dari zona nyaman. Cukup menyulitkan memang.

"Lo tahu? Masa depan itu indah, dan setiap orang pasti punya impian. Hm, sekarang gue mau bertanya, apa impian dan cita-cita lo?" tanya Angel.

Waktu perlahan berjalan, sementara Mira memilih terdiam. Hal itu tentu membuat Angel merasa bersalah. Apakah pertanyaannya tadi terdengar menyakitkan bagi Mira hingga gadis itu tak mau menjawab pertanyaan darinya?

"Mir, gue--"

"Aku ingin menjadi penulis, public speaking, reporter, wartawan, jurnalis, dan apa saja yang mampu membangkitkan senyum dari banyak orang. Mampu mengubah hidup mereka dengan tiap hal yang kulakukan," ungkap Mira.

Angel tersenyum senang, pada akhirnya Mira mau menjawab pertanyaannya. "Impian lo bagus," pujinya tulus.

"Kalau kamu? Apa impianmu?" tanya Mira.

"Gue mau jadi pelukis. Menciptakan dunia yang indah dengan gambar dan warna, tidakkah itu merupakan suatu hal yang menyenangkan?" terang Angel.

Mira mengangguk menanggapi. "Ya, itu memang menyenangkan," sahutnya.

"Bagaimana cara lo untuk menggapai impian? Apakah lo sudah punya rencana? Jujur, gue sama sekali enggak punya rencana apa buat menggapai impian," keluh Angel sedikit beralibi.

Mira terdiam, seolah juga sedang berusaha untuk memikirkan jawaban atas apa yang Angel katakan. "Aku punya rencana untuk impian. Namun kemungkinan besar, itu hanya sebuah rencana yang tak mampu untuk kulakukan. Pada nyatanya, aku juga punya halangan untuk mewujudkan."

"Halangan?" tanya Angel berpura-pura tak mengerti. Tujuannya saat ini hanyalah, agar Mira mengungkapkan semua keluh kesahnya saat ini juga. Berharap setelah mengungkapkan semuanya, sahabatnya itu bisa merasa lega.

"Iya. Kau tahu? Aku malu, dan aku rasa tak ada ruangan untuk orang pemalu ini dalam dunia. Semua menginginkan orang yang mampu berkata dengan jelas dan lantang. Namun sayangnya, aku bukan orangnya," keluh Mira, nada bicaranya kini terdengar sedih.

Angel yang mendengar hal tersebut pun ikutan merasa iba. Berada di posisi Mira nyatanya memang bukanlah hal yang menyenangkan. Angel tau bagaimana rasanya.

"Lo tahu? Terkadang lo harus keluar dari zona nyaman untuk bisa maju. Percaya sama gue, dengan lo milih tetep bersembunyi tanpa nunjukin diri lo pada dunia, kemungkinan besar lo bakal tetap di situ, diem terus, selamanya. Mungkin saja," ujar Angel untuk yang kesekian kali.

"Tapi sulit Njel. Bahkan, semua itu rasanya, hampir mustahil," lirih Mira.

"Nothing Is Impossible. Enggak ada yang enggak mungkin dalam dunia ini. Lo sebenarnya bisa wujudin semua yang lo mau, asal lo punya niat dalam hati," ungkap Angel.

"Sulit untuk menciptakan niat itu!" tukas Mira.

"Gue tahu, ini pasti sulit. Gue juga sempet berpikir seperti itu, ketika dulu, gue masih terpuruk dalam lubang hitam. Gue selalu berpikir, apakah bisa gue menjadi pelukis? Sementara hidup gue aja suram, enggak berwarna sama sekali."

Mira memilih untuk mendengarkan, bingung harus menjawab apa. Lagipula, jika ia menjawab, dia pasti akan terpojok.

"Lo tahu? Siapa yang mbantu gue buat keluar dari semua yang dulu lo lalui? Itu lo Mir. Lo sahabat gue, yang udah mbantu gue sampe bisa ada di titik ini. Makasih. Dan, gue pikir-pikir, sekarang saatnya gue balas budi, gue mau bantu lo, bersuara di depan publik, gue mau lihat lo nggapai mimpi lo," terang Angel.

Mira menunduk terdiam. Tak tau harus menjawab apa. Sejujurnya, apa yang Angel katakan, memang benar. Sulit untuk menggapai mimpi dengan keterdiaman. Lantas sekarang Mira harus bagaimana?

"Aku enggak tahu Njel, aku bingung harus bagaimana. Aku mau ikut, mau menggapai mimpiku perlahan, namun bagaimana? Hati ini rasanya masih ragu," jujur Mira.

Angel tersenyum tipis. "Kalau lo mau ikut, ayo gue antar lo buat mendaftar. Kebetulan gue kenal sama ketua penyelenggara disini."

"Mmm tapi---"

"Lo bisa ikut lomba debat putri terlebih dulu," sahut Angel yang tampak mengerti dengan apa yang Mira pikirkan.

"Terimakasih," ungkap Mira tulus, "Hm, kamu ikut lomba juga kah?"

Angel mengangguk sebagai jawaban. "Ikut, tapi dilain hari. Gue ikut lomba melukis nanti," ujar Angel dengan senyuman bangga.

Mira yang melihatnya ikutan tersenyum. "Terima kasih buat segalanya. Karena sudah mau berteman denganku, mau menghargai aku, dan mau menyemangati dan menuntunku menggapai mimpi. Terimakasih."

Angel balas tersenyum. "Sama-sama, toh juga menurut gue, memang begitu tugasnya sahabat. Selalu nyemangatin satu sama lain, selalu mbantu berjalan ke yang lebih baik, dan seperti cermin."

"Seperti cermin?" tanya Mira mengerutkan keningnya.

"Iya, karena ketika gue bercermin, gue ngrasa jadi orang yang terbaik di Dunia. Seburuk-buruknya gue, di depan cermin gue tetap ngrasa jadi yang terbaik. Menurut lo gimana Mir?" ujar Angel yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan.

"Aku rasa kamu benar. Ketika aku bercermin aku juga melihat diriku sendiri. Jadi mungkin ya, kamu adalah aku, dan aku adalah kamu. Hnmm aku rasa ya, kita saling melengkapi," tutur Mira.

"Gue terkadang kasar dan mudah marah, seperti api. Sedangkan lo, dingin dan cuek, seperti es, dan kita saling melengkapi. Terus kenapa kita nggak memasak aja?" ujar Angel yang dijawab Mira dengan kekehan geli.

"Kamu ini ada-ada saja!" ujar Mira masih dengan tertawa geli.

Singkatnya keduanya tertawa, padahal apa yang dikatakan Angel bukanlah hal yang terlalu lucu. Tapi ya, namanya juga sahabat. Apapun itu, jika yang satu tertawa, maka yang lain mungkin akan tertular juga. Bukankah tawa itu memang menular?

Selama keduanya tertawa, sejujurnya saat itu juga, Mira tengah merasa bimbang. Apakah dia, benar-benar harus keluar dari zona nyaman? Sungguh Mira ingin mengejar impian. Tapi ia tak rela meninggalkan semua kesunyian.

Lantas sekarang, apa yang harus ia lakukan? []

CERMIN [END]Where stories live. Discover now