23| My Bestie My Mirror

49 11 7
                                    

"Karena persahabatan seperti cermin, tak pernah melihat siapa aku dan siapa kamu, yang ada hanya, aku adalah kamu, dan kamu adalah aku."

•••••

Gadis bergamis merah muda itu berjalan pelan menyusuri trotoar. Pagi ini rencananya ia akan singgah sebentar disalah satu Cafe yang menjadi langganannya mencari inspirasi. Dunia sastra bahasa memang membuatnya haus akan ide-ide baru.

Senyum tipis terlengkung di bibir ketika dirinya telah sampai di depan bangunan yang ia tuju. "Clasical Cafe" huruf itu terpampang dengan jelas di pintu masuk.

Sesuai namanya, Cafe ini cukup dominan dengan desain interior klasik, namun masih terkesan cukup elegan. Alat musik khas tahun 60-an bernama Gramofon terpampang dengan sangat gagah di pojok ruangan, bersama dengan tumpukan piringan hitam.

Mira duduk di kursi yang terletak di sudut ruangan. Tak banyak orang yang datang di Cafe pada jam-jam pagi hari. Membuat Mira mampu dengan leluasa datang kemari. Mira akui, untuk berbicara di depan publik, gadis itu sudah mulai tak merasa malu. Tapi untuk keramaian, Mira masih tak menyukai hal itu.

Setelah ia memesan Coffe Mochacino pada pelayan wanita yang bertugas, gadis berpashmina itu kini mulai menggerakkan jari jemarinya di keyboard laptop. Mengerjakan bab demi bab untuk keseluruhan naskah yang ia buat. Sudah sejak dulu gadis itu menggeluti Dunia sastra, dan baru tahun kemarin gadis itu menghasilkan sebuah karya.

"My Bestie My Mirror" adalah karya pertama yang rilis beberapa bulan yang lalu. Cerita persahabatan yang ia kemas dengan alur yang menarik, berhasil membuat Mira mencapai mimpinya. Kisah persahabatan yang Mira buat, sebsgian besar berasal dari kisah yang ia lalui, bersama—

"Eh Mir, lo di sini juga?" Suara dengan nada gembira dari gadis berpashmina warna coklat muda itu tentu saja membuat Mira mencetak senyumnya.

"Aaaa gue kangen lo! Sudah satu bulan kita enggak ketemu!" pekiknya berhambur memeluk sahabatnya. Keduanya berpelukan erat, mengikis rasa rindu yang tercipta akibat jarangnya pertemuan.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Mira masih dengan senyumnya.

Angel mengangguk antusias. "Baik. Lo sendiri gimana?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah baik," ucap Mira.

Keduanya berbincang seraya menikmati makanan yang mereka pesan. Dua gelas coffe mochacino turut menemani perbincangan mereka kali ini. Saling berbincang tentang karir mereka saat ini, berbagi pengalaman untuk inspirasi.

Selain Mira yang sukses dengan bukunya, Angel juga sukses dengan lukisannya. Karya-karyanya selalu punya makna tersirat. Membuat banyak orang kerap kali mengundang ia dan karyanya ke Pameran yang diselenggarakan.

"Mau nerbitin buku lagi?" tanya Angel, matanya melirik laptop Mira yang telah tertutup.

Mira mengangguk sebagai jawaban. "Baru proses kok, masih lama mungkin, toh juga aku belum mendapat tawaran penerbitan sejauh ini."

Angel meneguk minumannya, baru kemudian menyahut ucapan sahabatnya. "Kirim permintaan aja, pasti diterima!" katanya.

Mira mengangguk sebagai jawaban. Masalah menerbitkan buku atau tidak, sejujurnya Mira tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, yang penting ia mampu berguna bagi orang-orang di sekitarnya. Itu sudah lebih dari cukup.

"Oh ya, bagaimana dengan pelukis yang satu ini? Apakah sudah merilis karya terbaru lagi?" tanya Mira seraya tertawa pelan.

Angel ikut terkekeh. "Gue lagi mencari inspirasi. Kalau gue sudah menemukan inspirasi, mungkin gue bakal bikin karya terbaru," jawabnya santai.

CERMIN [END]Where stories live. Discover now