🧤6.5🔥

1.3K 234 20
                                    

*Reader POV*

Sakit...rasanya sakit sekali.

Aku susah tidur karena ada luka di punggungku.

Meski lukanya tidak begitu besar.

Quirknya sangat kuat dan mengerikan.

Haha, quirk mana yang lemah bukan?

Apa dia masih di sini?

Aku tidak dengar apapun di luar kamarku.

Dan kenapa di sini terasa dingin sekali?

Padahal kamarku tidak ada AC.

"Oi"

Suaranya membuatku terkejut.

Apa dia masih marah padaku?

"Biar aku bantu perban itu, melihatmu tidak bisa melakukannya membuatku muak"

"Ehm..."

"Apa?"

"Nandemonai..."

Aku takut dia masih marah dan lepas kendali lagi.

Mungkin aku akan jadi debu begitu saja dengan tangannya.

Seperti yang dikatakannya, Tomura membantuku memperban luka yang dia buat.

Membuatku shock dan bingung sekaligus.

Tanpa ada yang bicara sama sekali.

"Dari mana saja...setelah Stain membuatmu..."

"Ru-rumah sakit"

Setelahnya kembali hening.

Aku tidak visa bilang kalau yang mengantarku ke rumah sakit adalah seorang hero.

Bisa-bisa Tomura murka lagi.

Dia begitu hati-hati melakukannya.

Berusaha sebisa mungkin tidak menyentuh kulitku.

"Maaf aku...menyentuhmu", katanya memecahkan ruang hening diantara kami. "Aku tidak akan lakukan lagi...aku takut jika aku menyetuhmu lagi kau akan hilang"

Apa ini? Kata yang sama dikatakan oleh Dabi.

Satu lengannya melingkari pinggangku dan menggenggam tanganku dari belakang.

Jari telunjuk dan kelingkingnya tidak ikut menggenggam.

Quirknya aktif kalau kelima jarinya menyentuh langsung objek.

Kepalanya tenggelam di pundakku.

Aku bingung dengan situasi ini.

Bukannya dia orang yang kejam dan dingin?

Sikapnya yang ini bukan dia.

Apa ini? Dia kerasukkan?

"Hadap sini"

"Eh?"

"Cepat hadap sini!"

Aku menurutinya, aku bingung dengan ucapannya.

Punggung tangannya berada di dahiku.

"Kau demam! Aku harus menghubungi dokter Ujiko"

"Ehm, aku bisa mengurus diriku"

"Kau diam saja! Biar aku saja yang bertindak! Berbaring sekarang! Pakai bajumu dulu!"

Bagaimana aku bisa berbaring kalau punggungku luka?

Aku memakai bajuku dan berbaring miring.

Kalau aku terlentang rasanya sangat sakit.

"Tidak, jangan dokter Ujiko...nanti kau akan jadi orang yang berbeda"

Dokter Ujiko? Siapa?

Terus kenapa tidak boleh?

"Aku tidur saja"

"Ah, iya! Itu saja! Tidur! Kalau aku melihatmu tidak tidur kau tahu apa yang akan aku lakukan padamu"

"Iya, iya"

Aku memejamkan mataku.

Meski aku bilang begitu, aku tidak bisa tidur.

Cerewet sekali dia.

Setidaknya tidak agresif dan sagne kayak seseorang.

Aku merasakan sisi sebelah kanan kasurku memberat.

Aku tidak mau menoleh, lebih memlih menatap tembok.

Tomura naik ke kasurku sepertinya.

Lengannya sekali lagi memeluk pinggangku.

Bibirnya yang kering aku rasakan di pundakku.

Tidak hanya disitu, tegkuk leherku juga di jelajahi bibirnya.

Kok dia jadi lembut? Membuatku takut.

"Uso wa dame", katanya sambil membelai rambutku.

Kowai.

Apa dia marah?

"Jangan menghilang lagi tanpa kabar", lanjutnya. "Mencarimu itu merepotkan"

Jemarinya menyisir pundakku.

Membuatku sedikit bergidik karena sensasi yang campur aduk ini.

Karena dia tidak biasanya begini.

Atau ini modus baru villian untuk membunuh mangsanya?

"Aku marah kau hilang tanpa kabar apapun, aku lebih marah lagi saat tahu kalau yang membuatmu terluka si bodoh Stain, aku lebih marah lagi jika tahu siapa yang mengantarmu ke rumah sakit"

Aku menelan ludahku susah payah seakan ada batu di tenggorokkanku mendengar bisiknya.

Jangan sampai tahu kalau yang mengantarku adalah seorang hero.

Apalagi aku sekarang jadi informan ganda dari kedua pihak yang berselisih ini.

Kalau sampai ketahuan, aku akan mati.

Mati ya...

Pilihan bagus haha.

Tidak akan ada yang sedih jika aku pergi.

Toh aku cuma seonggok manusia tanpa quirk atau keistemewaan lain.

"Ah, kau tidak bisa hadap sini sih ya", dia masih mengoceh. "[Y/n], apa kau takut padaku?"

Eh? Takut? Tentu aku takut.

Tapi saat kau marah saja.

Awalnya sebelum kenal, aku takut pada liga villian.

Itu dulu, sekarang sih...aku hanya takut kalau kau marah saja, Tomura.

"Entah kenapa aku...nyaman bersamamu", ucapnya sambil mengecup punggungku.

Geli dan agak nyeri masih terasa.

"Tapi aku...masih takut menyentuhmu dengan seutuhnya"

Eh? Maksud seutuhnya?

Dengan lima jarinya? Dengan semua jari menyentuhku?

"Maaf aku kelepasan tadi...aku hanya kesal sendiri"

Seorang Shigaraki Tomura meminta maaf dengan suara lembut?

Membuat telingaku sedikit bergidik.

Tapi dia memeluk dan menyentuhku dengan hati-hati sangat lembut.

Ah, ini pasti modus.

Ujung-ujungnya mati gimana?

UntouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang