🍁Part 5🍁

11 3 0
                                    

"Eh tapi kok?!"

Jeje mengernyit heran sambil melihat ulang ke arah papan majalah dinding. Terlihat nama Vela terpampang jelas di sana, namun bukan nama panjang Vela yang sebenarnya melainkan nama orang lain.

Jika nama lengkap Vela adalah Velannie, maka beda lagi dengan nama yang ada di papan yaitu Vela Wardaniyah.

Bruk!

Tiba-tiba saja tubuh Jeje dihantam kuat dari belakang. Pelukan erat Vela hampir saja membuat dirinya terkena serangan jantung mendadak.

Dan ... bersyukurlah bahwa Jeje mampu menahan bobot tubuhnya,

Jika tidak ....

Maka siap-siap saja dirinya dan Vela akan jatuh tersungkur dengan mencium aspal. Uhh.. pasti sangat memalukan!

"Kebiasaan bikin orang jantungan terus!" omel Jeje.

"Serius ada nama gue kan?!" Gadis itu tidak menghiraukan ucapan sahabatnya, ia justru malah mendekat ke arah papan.

Memastikan bahwa yang dibilang Jeje beberapa menit lalu adalah ... sebuah kebenaran. Semoga saja.

Seperkian detik kemudian matanya memerah, satu liquid bening berhasil tumpah membasahi kedua pipi gadis itu.

"Hiks... Je ...," lirihnya diselingi isakan kecil.

"Ya ampun, Vel, lo kenapa?! Kok nangis?" tanya Jeje panik.

Menunduk lebih dalam untuk meluapkan semua rasa kecewanya lewat buliran air mata,  Vela kembali mengangkat kepalanya, menatap sendu sahabatnya dan menampilkan senyum yang penuh luka.

"Gue ...." Menjeda sebentar ucapannya sambil menarik napas dalam, kemudian ia melanjutkan, "gak lolos test, Je."

Tanpa banyak omong Jeje langsung membawa tubuh Vela dalam dekapannya. Membiarkan gadis itu menangis sejadi-jadinya. Jeje sudah tahu, sangat, bahwa Vela tidak lolos test bahkan namanya pun tidak tercantum dalam kertas laporan tadi.

Kalau begini jadinya, Jeje merasa tidak enak sudah memberikan harapan di awal kepada Vela.

"Udah, Vel, jangan nangis. Kalau lo mau ... lo bisa kok gantiin posisi gue buat sekolah di sini," ujar Jeje berusaha menenangkan sahabatnya.

Vela mulai melepaskan pelukannya pada Jeje, tersenyum tulus sambil berkata, "Nggak bisa. Ini udah takdir lo masuk ke sekolah ini. Mungkin gak lolos test-nya gue tadi juga udah takdir, karena ...," lanjutnya menggantung.

"Apa?" tanya Jeje.

"Sudahlah lupakan!" jawab Vela sambil membuang muka.

"Oh, ya, boleh gue minta satu permintaan sama lo?"

"Boleh."

"Tolong lo terima sekolah di sini, gantiin jiwa gue yang selama ini terus mendambakan sekolah ini. Gue tau ini berat bagi lo karena lo pengen banget masuk SMP Negeri, tapi untuk saat ini lo mau bantu gue 'kan?"

Jeje menarik napasnya dalam-dalam, menetralkan pikirannya sejenak sambil membuat keputusan.

"Oke. Gue mau!" jawabnya yakin.

"Makasih." Vela hanya tersenyum tipis.

"Demi lo gue akan berusaha menerima sekolah ini."

****

Hari Sabtu pagi waktunya Jeje untuk melakukan registrasi, tidak lupa selalu ditemani oleh Vela.

"Kamu yakin mau sekolah di sini?" tanya Lina sekali lagi.

Jeje menatap sebentar ke arah Vela yang tengah duduk termenung sambil menatap lekat gedung sekolah MTsN Cahaya.

Sebenarnya Jeje ingin menolak dan daftar kembali di sekolah impiannya. Namun, melihat Vela dalam keadaan sedih dan ia sudah berjanji, maka ... ia harus mau.

"Iya, Ma," jawabnya.

"Baiklah ayo kita masuk." Akhirnya Lina, Jeje dan Vela masuk ke dalam salah satu kelas.

.
.
.

Kegiatan registrasi telah selesai dan mereka bertiga pulang ke rumah. Semenjak pengumuman kemarin sikap Vela berubah seratus sembilan puluh derajat dari hari-hari biasanya.

Tidak ada lagi Vela dengan senyum cerahnya, canda tawanya, sikap heboh serta cerewetnya dan kini yang terlihat hanyalah Vela yang pendiam. Merespon seadanya dan ... mungkin tidak peduli lagi pada keadaan.

Jeje paham sekali dengan sifat sahabatnya yang satu ini, biasanya Vela akan bersikap seperti tadi jika ia sedang marah, kesal, ataupun kecewa.

Tapi biasanya di keesokan hari gadis itu akan kembali pada kepribadian aslinya dan melupakan begitu saja kejadian sebelumnya.

Ya, semoga saja.

****

Vela POV

Haha, hari yang sangat ... menyedihkan. Gue baru pulang setelah mengantar Jeje melakukan registrasi. Betapa beruntungnya dia.

Melihatnya menerima seragam membuat rasa iri dalam diri gue melonjak. Tidak, gue gak kesal ataupun marah dia sekolah di sana. Justru hal itu membuat gue bahagia, tidak sabar mendengar kelanjutan cerita dari Jeje setelah belajar di sana.

Kemarin, saat gue tau kalau gue tidak lolos test rasanya sangat menyakitkan. Bagai disambar oleh badai petir hati gue hancur berkeping-keping.

Rasa sesak, pedih, kecewa, kesal, semuanya bercampur menjadi satu dalam rongga dada ini. Tidak mau menerima fakta yang sebenarnya bahwa gue ... tidak pantas untuk bersekolah di sana.

Ditambah jauhnya restu orang tua.

Haha. Lengkap sudah.

Bersender di kepala sofa gue hanya bisa tersenyum kecut dengan air mata yang mulai mengalir deras di pipi gue. Entah sejak kapan cairan itu keluar.

"Tuhan, kenapa kebahagiaan tidak pernah berpihak padaku? Mengapa hanya rasa sakit yang sering kuterima? Kapan aku bisa bahagia?"

•••

Maaf ya kalau Part-nya terlalu pendek👉👈

Gimana rasanya jika kalian tidak lolos test di sekolah impian kalian, seperti Vela?

Kasih tau aku ya!

~BERSAMBUNG~

[26 Desember 2020]

RUMIT [COMPLETED]Where stories live. Discover now