🍁Part 28🍁

12 3 0
                                    

Sejak pagi tadi sampai malam ini Gino tidak menghubungi Jeje sama sekali. Untuk sekadar menanyakan kabar gadis itu pun juga tidak. Jeje termenung di pembatas pagar tingkat rumah neneknya.

"Tumbenan, biasanya dia nggak kayak gitu," lirih Jeje melihat ke arah handphone-nya berharap ada pesan masuk dari kekasih.

Menatap ke arah kumpulan bintang sambil tersenyum, satu tetes air mata jatuh di pipi Jeje.

"Ayah, Jeje kangen," ucapnya satu kata.

Walaupun tubuh ayahnya sudah tidak lagi terlihat, namun raga dan jiwanya terus menetap di dalam hati Jeje. Sikap sabar dan pemaaf yang lelaki itu berikan senantiasa Jeje terapkan dalam kehidupan sehari - hari.

Tanpa sadar cuaca di luar semakin dingin, Jeje melangkah masuk dan menutup pintu. Ia beralih ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci mukanya, lalu naik ke atas kasur dan merapalkan doa. Jeje berharap satu hari menjelang hari ulang tahunnya sesuatu yang baik akan datang menghampiri. Menarik selimut dan kemudian ... terlelap.

****

VELA POV

Aku tidak tahu apa tujuan Omah mengumpulkan seluruh keluarga di ruang tamu dan tadi pagi aku dipaksa memakai baju rapi dan berdandan. Sungguh aneh sekali.

Tidak lama ku dengar bunyi ketukan dari pintu depan, ayah yang membukakan pintu. Terlihat satu keluarga besar entah siapa itu aku tidak kenal ikut masuk ke dalam rumah.

"Silakan duduk," ucap Omah ramah.

Aku mengernyit heran menatap lelaki yang ada di hadapanku, dari raut wajahnya dia nampak begitu gelisah. Dia juga berpakaian rapi sepertiku.

"Baiklah kita langsung mulai saja!" ujar Omah menginterupsi.

"Vela, karena ayah dan teman ayah ini sudah dekat lama dan juga sejak dulu kami berdua berjanji akan memasangkan kedua anak kami jika sudah besar, maka kamu ayah jodohkan dengan Putra," ucap Ayah tegas.

"WHAT?!"

Aku tersentak, kaget dan tidak terima. Apa - apaan ini? Sangat memalukan di zaman milenial ini masih ada tradisi kuno seperti itu!

"Ayah gila? Aku masih sekolah dan belum waktunya menikah. Dia juga lebih tua dari aku. Aku bisa milih pasangan sendiri, jangan paksa aku kayak begini!" ujarku marah. Emosi dan kecewa berkecamuk dalam hati, aku berusaha keras menahan air mata.

"Ini sudah keputusan Ayah, Vela! Kamu harus mau dan nurut kata ayah!" Raut wajah ayah berubah menjadi merah, tidak mau dibantah.

Aku hanya mampu menunduk dalam, meremas kuat ujung bajuku. Menangis dalam diam saat lelaki itu mengambil salah satu tanganku dan menyematkan cincin berlian di jari manisku.

Ahhh... kejadian terburuk dalam hidupku. Ini benar - benar gila! Jika Kakakku saja -yang jauh lebih tua daripadaku- belum menikah, lalu ada apa dengan aku yang masih bocah ingusan sudah melakukan lamaran?!

Semua orang bertepuk tangan saat kami selesai bertukar cincin, aku menatap penuh amarah ke arah ayah. Omah menyerahkan sebuah kertas untuk ditandatangani oleh aku dan lelaki itu.

Ibu memberikanku pulpen, aku sangat takut menorehkan tinta hitam di sana.

"Tanda tangan!" tekan ayah di telingaku.

RUMIT [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang