🍁Part 17🍁

6 2 0
                                    

Tingkatan pertama sudah terlewati dan kini Jeje sudah menginjak tingkatan kedua, yaitu kelas delapan. Teman dan kelas masih sama seperti sebelumnya.

"Jangan lupa bicarakan secepatnya kepada orang tua kalian, ya. Saya tunggu sampai minggu depan," ucap Bu Risa -Wali Kelas baru-.

Jeje melihat ke arah surat edaran kepergian mereka ke Malang dalam rangka Outing Class. Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit, yaitu tiga juta per orang. Kegiatan ini bersifat wajib bagi seluruh murid kelas delapan.

Kring ... Kring ... Kring ...

Jam istirahat telah tiba dan Jeje malas ke kantin karena tiba-tiba saja nafsu makannya hilang. Dari kejauhan nampak seseorang berjalan mendekat ke arah Jeje.

"Tumben nggak ke kantin, kenapa?" tanya Gino sambil duduk di kursi sebelah Jeje.

Yup. Semenjak kejadian waktu itu Jeje jadi tidak tega ingin menolak Gino, alhasil ia terima saja. Kabar kedekatan mereka sudah menyebar ke seluruh murid MTsN Cahaya, tapi sepertinya mereka semua tidak mempermasalahkannya.

"Gak mood," jawab Jeje.

"Bawa makanan dari rumah nggak?" tanya Gino lagi.

"Nggak," jawab Jeje singkat.

"Kalau nggak makan nanti sakit, nih aku bawa roti," ucap Gino sambil memberikan sebungkus roti.

Jeje menoleh sambil menatap sebentar roti yang ada di tangan Gino, entah kenapa ia jadi tidak ingin makan apapun. "Buat kamu aja," ucap Jeje menolak.

Jeje terus menatap ke arah surat edaran di tangannya. Biaya itu terlalu mahal, sedangkan ekonomi keluarganya sangat terbatas. Apa bisa orang tuanya membayar? Atau lebih baiknya Jeje tidak usah ikut saja?

"Liatin apa sih fokus banget?" Gino merampas surat edaran yang ada di tangan Jeje.

"Ehh--" Jeje terkejut atas tindakan Gino yang tiba-tiba itu.

"Acara Outing Class ke Malang?" Gino terus membaca surat itu sampai habis.

"Bagus, dong. Angkatan kamu beruntung bisa jalan-jalan sampai ke Malang," ucap Gino sambil menatap Jeje.

"Aku nggak bisa ikut," ujar Jeje.

Gino menaikkan sebelah alisnya bingung, "kenapa?" tanya Gino.

"Biayanya terlalu mahal, aku nggak mau ngerepotin mama sama ayah," jawab Jeje.

"Aku yang bayarin," balas Gino.

Jeje membelalakan matanya kaget. "Gak! Gak! Nggak usah, Gino!" tolak Jeje.

"Daripada kamu nggak ikut karena biaya yang kebesaran ya.. mending aku bayarin sekalian," ucap Gino.

"Gak usah macem-macem, Gin. Aku nggak mau punya utang sama orang, udah aku mau ke kantin dulu." Jeje berdiri dan langsung keluar kelas, meninggalkan Gino sendirian di dalam kelas.

.
.
.

"Udah gue tebak pasti lo bakalan ke sini juga," ujar Siska sambil menghisap kuah sotonya.

"Gimana? Lo jadi ikut, 'kan, Je?" tanya Wulan.

Jeje mendaratkan bokongnya di kursi dan melahap satu bakso. "Nggak," jawab Jeje.

"Ehh.. kenapa?!" tanya Siska 'tak terima jika teman solidnya tidak ikut pergi.

"Biayanya mahal gue gak tau mampu bayar atau nggak," jawab Jeje.

"Gue bantu bayarin deh. Mau?" tawar Siska.

"Sama gue juga bakal bantu," sambung Wulan.

Jeje terkekeh sebentar sambil menggelengkan kepalanya, "kalian ini gak usah capek-capek mikirin orang. Udah nikmatin aja perjalanan nanti, lagipula kalau gue gak ikut gak ada ruginya juga, 'kan?"

"Yaa.. gak serulah kalau gak ada lo mah," ujar Wulan.

"Nah betul tuh nggak bakalan ada yang ngelawak lagi," sambung Siska.

"Liat aja nanti," ucap Jeje menyelesaikan permasalahan tadi.


****

Lina termenung setelah selesai membaca surat edaran yang diberikan putrinya. "Ini wajib dan kamu harus ikut, Kak," ujarnya.

"Yaa, Jeje tau.. tapi ayah sama Mama punya uang segitu? Lumayan banyak ituloh, Ma," jelas Jeje.

"Masalah biaya gampang biar Mama sama ayah yang urus, intinya kamu wajib ikut. Terakhir pembayaran kapan?" tanya Lina.

"Senin depan, Ma," jawab Jeje.

"Okey, masih banyak waktu nanti Mama usahakan," ucap Lina menyakinkan putrinya.

Jeje mengangguk pasrah dan pergi menuju kamarnya. Jujur ia tidak ingin membebani kedua orang tuanya, Jeje sudah bilang bahwa ia tidak usah ikut acara itu. Tapi apa daya jika orang tuanya tetap menyuruhnya untuk ikut.

.
.
.

Lina masuk ke dalam kamar dan mengobrak-abrik isi dalam lemarinya. Di laci ia menemukan uang berjumlah satu juta, itu tandanya masih kurang dua juta lagi. Dirinya beranjak menelpon seseorang dan meminta bantuan, semoga saja orang itu mau.

Drtt.. drrtt..

"Hallo?"

"Assalamualaikum, Teh. Besok bisa datang ke rumah? Ada yang ingin saya bicarakan."

"Ahh.. bisa-bisa. Mau jam berapa?"

"Besok pagi sekitar jam sembilan atau sepuluh saja."

"Baik, saya akan datang."

"Makasih banyak ya, Teh. Saya tutup ya telponnya, assalamualaikum."

"Iyaa sama-sama, wa'alaikumussalam."

Tut.

Sambungan terputus, Lina bernapas lega. Yah.. semoga saja dia tidak keberatan membantu Lina nanti.

Untuk menjaga-jaga Lina pun pergi ke rumah para tetangga, meminta pinjaman sedikit dari mereka. Alhamdulillah ada sebagian yang mau membantu.

"Sepertinya lumayan cukup segini," ujar Lina sambil melihat ke arah uang yang sudah ia kumpulkan.

"Semoga besok sudah cukup semua agar Jeje bisa ikut kegiatan itu," gumamnya, lalu masuk ke dalam rumah karena hari mulai gelap.

•••

Hai, kalian!

Jangan lupa VOMMENT, ya!♡

Terus ikuti alur cerita ini sampai tamat, ya..

~BERSAMBUNG~

[2 Januari 2021]

RUMIT [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant