Bab 17

431 24 6
                                    

Suara-suara bising terdengar di sepanjang lorong istana Sallam, suara-suara itu terdengar dari beberapa pelayan yang mondar-mandir kala mempersiapkan hidangan untuk para calon permaisuri beserta pangeran Mateen. Di lain tempat, tepat di sebuah kursi  warna putih dengan bahan kayu jati yang penuh ukiran dengan alas yang empuk, Aisya duduk dengan tenang sembari memainkan ponsel untuk mengecek pekerjaannya. kali ini ia memakai cadar seperti saat Haya menyamar menjadi dirinya. karna waktu yang diberikan lumayan lama, Aisya memutuskan untuk mencari tempat sebelum dirinya di panggil. ia memutuskan berjalan sendirian sembari mencari tempat yang cocok untuk menunggu. 

ia cukup paham seluk beluk kerajaan Sallam,  karna sewaktu kecil ia  sering bermain ke kerajaan ini. terlebih lagi ia juga pernah beberapa kali ke kerajaan Sallam untuk merancang busana ratu Hannah. jika mengingat begitu dekatnya kerajaan fitr dan sallam membuatnya tak heran jika akhirnya ia dijodohkan dengan salah satu pengeran di kerajaan sallam.  akhirnya ia memutuskan untuk menunggu di taman istana, di sana terdapat kursi putih yang langsung menghadap lapangan luas  dengan rumput yang hijau. dengan angin yang tidak begitu kencang namun menyejukkan. tempat yang tepat. 

" kenapa kau di sini ?" Aisya yang tengah menikmati lembutnya angin pagi sontak menoleh karna suara bariton yang tepat berada di sebelahnya. Aisya terkejut, seorang lelaki tengah duduk di sebelahnya sembari melipat tangan di dada. 

" ah ! maafkan saya pangeran " refleks Aisya berdiri kemudian membungkuk. pangeran Khenzo tidak menghiraukannya dan memilih memejamkan matanya kembali sembil menikmati angin pagi. 

Aisya melihat ke arah khenzo sebentar sebelum memutuskan pergi dari sana. namun baru saja ingin berbalik, khenzo dengan suara beratnya memanggil aisya dengan tatapan dingin yang kali ini jauh lebih dingin dari biasanya. Aisya paham betul lelaki itu memang tidak menyukainya sedari dulu. " ada apa pangeran ?" Aisya tampak tenang. 

" kau .. kenapa mengirim pelayanmu malam itu ? aku sudah katakan berulang kali jangan usik hidupku lagi ! " tajam menusuk membuat Aisya hampir saja meneteskan air matanya detik itu juga. Aisya menelan ludah kemudian menarik nafas kuat " soal itu aku minta maaf " khenzo berdiri dari duduknya mendekat ke arah Aisya. jarak mereka kini hanya 1 meter tatapan khenzo kini berubah sendu tidak lagi ia pasang wajah dinginnya yang biasa. 

wajahnya begitu jelas dari mata aisya,  sudah lama sekali ia tidak melihatnya sedekat ini. khenzo selalu pergi menjauh darinya. sangat jauh. " kenapa kau begitu padaku ?" khenzo mulai bertanya dengan suara yang ber. " aku-- " " jangan jawab ! biarkan aku saja yang bertanya " aisya bungkam. suara khenzo meninggi tatapanya berubah dingin lagi aisya tidak bisa melihat diri khenzo dari matanya. 

" kenapa kau membohongiku begitu lama Aisya, kenapa kau tidak pernah merasa bersalah, kenapa-- kenapa kau tidak pernah melihatku ?! " raut wajahnya sangat tidak bisa ditebak. berubah-ubah sedih kemudian marah. 

" Aku tidak mengerti khenzo ! " Aisya mundur beberapa langkah ke belakang. sebenarnya Aisya ingin sekali memeluk khenzo saat ini. ingin rasanya ia meredam semua emosi khenzo saat ini. khenzo membalikkan badannya untuk menutupi emosinya dari Aisya. 

" dia perempuan kan ? " Aisya tersentak. " kau bertemu dengannya ?" kali ini Aisya yang mendekat. 

" kenapa ?!!! " Aisya mundur beberapa langkah melihat emosi Khenzo yang kini berubah dua kali lipat lebih menyeramkan. " kenapa kau selalu merebut kebahagianku, kenapa harus kau ?! " " Aisya tidak tahu harus berkata apa lagi selain meminta maaf, ia tahu ini memang salahnya. ini semua tidak pernah ia rencanakan, namun  semua tindakannya berubah menjadi perangkap untuk dirinya bahkan teman dekatnya.  kini khenzo telah terjebak dalam perangkap yang Aisya sendiri tidak mengerti sejak kapan perangkap itu berada di belakangnya. 

" maaf kan aku .. aku benar-- " " cukup ! aku tidak ingin mendengar maafmu. aku sudah cukup dengan semua ini " khenzo memutus kalimat Aisya secara sepihak. kini hanya tinggal Aisya, berdiri mematung dengan mata yang mulai berair, perlahan pipinya telah basah oleh air mata untuk beberapa saat. setelah sadar dengan semua ini,  Aisya mengelap kasar air matanya. 

SERENDIPITY [prince mateen]Where stories live. Discover now