Part 2. Nakal Boleh, Asal Tahu Batasan

40.3K 4.8K 227
                                    

Aku memoleskan make up ke wajah cantik sahabatku dengan penuh semangat. Selain suka memasak, aku suka dunia make up dan fashion.

Sebenarnya aku sangat ingin membuka salon tapi tidak punya modal. Jadi, aku hanya bisa menjadikan Cindy pelanggan tetap ku haha.

"Sudah selesai! Suka dengan make up malam ini?"

Cindy membuka matanya dan tersenyum lebar kala melihat pantulan dirinya di cermin. Menangkup kedua belah pipinya dengan mata yang terus berbinar seperti anak kecil.

Hah, terkadang sahabatku ini memang seperti anak kecil. Belum lagi tubuhnya juga mungil dan lebih pendek dariku.

"Sangat sangat suka! Hasil make up Lo memang gak pernah mengecewakan. Mungkin kita harus buka usaha lagi?"

Seketika aku menjitak kepalanya kesal. "Jangan ngadi ngadi lo. Kita gak punya modal. Kalau kita nekat membuka salon, maka kita gak akan bisa makan dengan baik."

"Heleh, jangan sok gak bisa makan deh. Meskipun gak punya uang, kita tetap bisa makan. Lo lupa? Kita punya sihir."

Cindy menjentikkan jarinya sehingga makanan enak berterbangan di sekitarnya sementara dia sendiri melipat tangan songong di depan dada.

Aku hanya bisa memutar bola mata malas melihat senyuman miringnya. "Gimana? Membuka salon atau gak?"

"Gak deh. Capek gue."

Cindy kembali menjentikkan jarinya, membuat makanan hilang. Berdiri dan memeluk lenganku manja sambil tersenyum manis. "Kalau gitu, ayo kita pergi ke club. Para cogan pasti sudah menunggu kedatangan kita."

Aku balas tersenyum dan menepuk pelan puncak kepalanya. "Hooh, lo benar."

Langsung saja kami pergi ke tempat biasa menggunakan mobil. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kami sudah sampai di dalam club malam.

Penerangan remang-remang, suara musik terdengar begitu memekakkan telinga, dan orang-orang berjoged tak menentu karena mabuk.

"Selamat bersenang-senang!!" Seru kami girang secara kompak dan mulai berjoged ria bersama pengunjung lainnya.

"Eh, eh, berhenti!!"

Aku berdecak sebal ketika Cindy menahan bahuku. "Apaan? Gue baru aja menikmati."

"Gue lihat Laura, njir."

"Hah? Mana? Mana?" Tanyaku heboh karena masih penasaran dengan Laura itu.

"Itu, dia lagi duduk di atas pangkuan om om."

"Mendekat yuk?"

"Yuk lah."

Kami keluar dari lantai dansa dan menuju ke tempat Laura. Penasaran aja gitu lihat wajah om om yang dimaksud Cindy. Kalau ganteng sih bisa dipertimbangkan lah ya haha. Iya gak guys?

"Jangan menampakkan diri ya, Dev. Kita cukup menjadi penonton saja. Ak--"

Belum sempat Cindy menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu duduk di hadapan Laura dan om om itu.

Mau tidak mau, Cindy pun ikut duduk di sampingku.

"Gak nyangka ya ketemu di sini? Bukannya selama ini Lo anak baik-baik ya? Tapi, kok main pangku-pangkuan sama om om?" Tanyaku dengan tampang lugu.

Laura tampak panik dan segera turun dari pangkuan pria itu sedangkan Cindy menginjak kakiku.

"Gue ... Gue...,"

Mengibaskan tanganku tidak peduli dan kembali berdiri. "Nakal boleh saja asal tahu batasan, Laura. Jangan sampai kenakalan lo hari ini membuat diri lo menjadi tidak berharga di masa depan."

Sesama perempuan, aku hanya ingin kaumku untuk lebih memperhatikan diri mereka sendiri.

Perempuan jika sudah dirusak oleh seseorang yang bukan suaminya, maka tidak akan punya masa depan cerah lagi.

Terkecuali untuk kasus pelecehan seksual!

Semua orang akan mengenang semua perbuatan buruknya di masa lalu. Semua orang akan menyebut-nyebut namanya jika sedang berkumpul. Semua orang akan menjadikannya sebagai contoh yang tidak patut untuk ditiru.

Makanya, kita sebagai perempuan harus bisa menjaga diri sendiri.

"Dan apa benar Lo hamil?"

Mata Laura melotot marah padaku. "Lo gak berhak ikut campur urusan gue!! Pergi Lo!!"

Aku berdecak kesal mendengar bentakannya. "Ya udah sih. Niat awal gue cuman pengen bantu Lo tapi Lo gak tau di untung, tanggung aja sendiri penderitaan Lo sekarang. Cabut, Cin!!"

Tadi siang aku memang menggosip dan sedikit meledeknya tapi bukan berarti aku tidak peduli. Tapi, kepedulian ku malah dibalas seperti itu. Ya sudah, orang yang tidak pandai menghargai maka jangan harap akan kuhargai juga. Berlaku untuk semua orang, termasuk keluarga.

Contohnya ayah dan ibu yang tidak pernah menghargai ku. Sejak kecil mereka selalu membandingkan ku dengan ketiga kakak dan adikku. Mereka selalu menghinaku. Mereka tidak pernah mengakui aku anak meskipun aku punya paras yang sedikit mirip dengan mereka.

"Nyesal kan Lo menghampirinya?" Tuding Cindy seraya terkekeh.

Setelah meneguk wine, aku mengangguk malas.

"Udah sih, mending minum sampai mabuk. Besok kan libur." Kekehku.

"Jangan sampai mabuk, njir. Nanti kalau kita kelepasan menggunakan sihir sudah pasti kita akan diburu." Bisiknya agar tidak dapat di dengar siapa pun.

"Iya juga sih hehe." Mengedarkan pandanganku ke sekitar dan mencari-cari sesuatu. "Mending kita bersama kumpulan cogan itu."

Cindy membentuk tanda oke dengan jarinya sambil tersenyum senang.

Kami berdua berjalan mendekat ke kumpulan para cogan yang tengah duduk di salah satu sofa bar.

Dengan sengaja kami bertingkah sok kebingungan duduk di mana karena semua tempat sudah penuh.

Saat melewati mereka, salah satu dari para cogan itu menawarkan kami untuk bergabung bersama mereka.

Perfect bukan rencana kami?

Setelah itu, mereka berlomba-lomba menarik perhatian kami dan tentu saja kami meladeninya dengan senang hati.

Cogan tidak boleh dilewatkan!

Tapi tentu saja kami masih tahu batasan. Kami bukan perempuan murahan oke? Kami hanya penikmat cogan. Gak ada yang salah dengan hal itu bukan?

"Pulang yuk. Gue capek." Ajak Cindy setelah lama mengobrol dengan mereka. Langsung saja kusetujui karena aku juga sudah capek. Ingin rebahan sekarang.

Kami pamit ke para cogan, langsung ke luar dari club', dan masuk ke mobil. Kala tidak ada orang yang terlihat, kami menggunakan sihir agar cepat sampai di rumah.

"Besok jangan bangunin gue ya, nyet. Gue mau bobok indah sampai siang."

"Gue bukan monyet, Depi!!"

"Bidi imit." Ledekku dan segera keluar dari mobil.

Baru saja menginjakkan kaki dengan benar di atas tanah, suara orang yang tidak kusukai langsung terdengar. "Pulang sekarang! Matemu akan mengadakan pesta sebentar lagi."

"Gak mau!" Tolakku mentah-mentah.

"Seret dia ke dunia kita, sayang." Tutur ibu ke ayah. Benar saja, mereka menyeretku ke dunia immortal tanpa sempat meneriakkan nama Cindy!!

Oh tidak, aku tidak ingin berkumpul bersama makhluk menjijikkan itu lagi!! Aku sungguh tidak mau!!!

Siapa pun, tolong aku!!

-Tbc-

Queen Of WerewolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang