Part 36. Bolos Ke Kerajaan Arthur

14K 2.1K 198
                                    

Voment🤫

______

Setelah perdebatan yang panjang, akhirnya Devi dan Arthur diam karena lelah adu mulut terus.

"Kak Lily, lihat menantuku dong."

Namun, sepertinya Devi telah memancing perdebatan kembali terjadi di antara mereka.

"Siapa yang menantumu? Aku tidak Sudi jika sampai anakku menjadi menantumu!!" Sinis Arthur.

Devi menjawab tak kalah sinis. "Dih, ntar juga anak paman jadi menantuku dan paman tidak akan bisa untuk menolak."

Lily menatap keduanya bergantian dengan bibir cemberut. "Kenapa Arthur dan Devi tidak pernah akur? Lily sedih melihatnya."

Arthur mendekap Lily lembut dan mengecup puncak kepala wanita itu sekilas. "Kami akur kok, honey. Iya kan gadis kecil?"

Devi mengangguk membenarkan sambil tersenyum lebar. "Iya. Kami sangat sangat akur. Cuman cara kami berinteraksi berbeda dari yang lainnya." Godanya hingga Arthur mendelik sinis padanya.

"Benarkah?"

"Iya, kakak Lily ku yang syantik."

"Hum, baiklah. Lily tidak akan sedih lagi."

Duh, polosnya. Batin Devi gemas.

"Jadi, ayo ke kamar anak kakak. Aku ingin melihatnya!" Serunya riang.

Arthur dan Lily berjalan lebih dulu dari Devi. Tidak, tidak. Maksudnya Arthur yang menggiring Lily pergi dan tidak membiarkan Lily berduaan dengan Devi. Dia tidak ingin berbagi.

Devi yang mengikuti dari belakang diam-diam menilai dan mencebik iri beberapa saat setelahnya.

Dia benar-benar iri melihat kisah cinta romantis Arthur dan Lily. Dia ingin seperti mereka juga suatu saat nanti. Dia ingin dicintai, disayangi, dan dimanjakan seperti Lily.

Bisakah dia merasakan hal itu nanti?

Bisakah dia menemukan laki-laki seperti Arthur?

"Heh, gadis kecil. Kau mau kemana?"

Pertanyaan Arthur membuatnya kaget. Ia menoleh ke belakang, asal suara Arthur. Kemudian ia menyengir gaje. "Eh, terlewatkan ternyata." Kikiknya dan kembali ke arah Arthur dan Lily.

Bibirnya mencebik kesal saat keningnya dijitak oleh Arthur. "Paman jahat ih!"

"Makanya jangan melamun terus."

"Bodo amat." Devi memeluk lengan Lily manja. "Ayo kak, kita liat anak kakak aja."

Devi menyeret Lily sehingga wanita cantik itu terpaksa mengikutinya dan tertinggal lah Arthur yang menggerutu kesal di ambang pintu.

"Jadi ini anak kakak?"

Lily mengangguk antusias. "Sangat tampan 'kan?"

Devi mengangguk setuju. "Iya. Sangat sangat tampan. Pasti anakku kelak akan bahagia memilikinya." Jawabnya terkekeh geli.

"Mimpi!!"

Dan semakin terkekeh geli mendengar umpatan Arthur.

"Boleh aku sentuh gak nih, kak?" Devi bertanya penuh harap.

"Boleh."

"Tentu saja tidak boleh."

Jawab Lily dan Arthur berbarengan.

Devi menjulurkan lidahnya mengejek pada Arthur. "Kak Lily bilang boleh, jadi paman tidak akan bisa menahanku."

"Hei! Aku bisa menahanmu! Dia anakku!!"

"Tapi Kak Lily lebih berhak! Kak Lily yang mengandung anak ini."

"Tapi, sumbernya dari aku. Jika aku tidak ada, maka anakku juga tidak akan ada."

"Tapi jika Kak Lily tidak ada, anak paman pun juga tidak akan ada."

Lily menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat pertengkaran Devi dan suaminya untuk kesekian kalinya. Tingkah keduanya seperti Tom and Jerry yang sering di tonton nya dulu.

Tidak tahu lagi bagaimana cara Lily membuat keduanya akur.

****

"Ya ampun, bentar lagi pulang sekolah. Aku pergi dulu ya, kak!!" Pamit Devi terburu-buru pada Lily dan langsung menghilang begitu saja.

Dia mendarat di taman belakang sekolah yang jarang dikunjungi orang.

Merapikan penampilannya sejenak, baru lah dia kembali ke kelas.

Saat sampai di sana, kelas sudah sepi. Tidak ada lagi tas yang tersisa selain tasnya.

Buru-buru Devi berjalan ke tempat tasnya dan menyandang tas merah mudanya tersebut.

Dia berjalan sendirian di koridor sekolah yang sudah sepi dan terasa mencekam.

Devi hampir menjerit heboh ketika matanya di tutup oleh tangan dingin seseorang. Dipikirannya itu adalah ha...

"Coba tebak ini siapa?"

Pikiran buruknya hilang seketika kala mendengar suara orang yang sangat dikenalnya.

Siapa lagi kalau bukan Bryan.

"Gak lucu sumpah! Jauhin tangan Lo sekarang juga!"

Bryan terdengar tertawa geli, menjauhkan tangannya, dan berjalan di sisi Devi.

"Kamu takut ya?"

"Dih, enggak ya. Tadi itu aku cuman kaget."

"Jangan-jangan kamu pikir aku tadi hantu?"

"Hm."

"Setelah ini kamu mau kemana?"

"Aneh. Tentu saja mau pulang."

Bryan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bagaimana kalau kita jalan dulu?"

"Males. Aku mau tiduran sambil nonton oppaku nantinya." Sahut Devi apa adanya.

"Oppa-oppa Korea maksudnya?"

"Ya iya lah."

"Apa sih yang kamu sukai dari mereka? Mereka itu plastik dan banci!!"

Devi menghentikan langkahnya, kemudian menatap Bryan tajam seolah Bryan musuhnya. "Ingat ya! Mereka itu bukan plastik apalagi banci! Jangan ngatain mereka yang enggak-enggak."

"Kenyataannya memang seperti itu kan. Mereka memakai make up. Seharusnya perempuan yang memakai make up."

Devi semakin kesal. Rasanya ia ingin meremukkan tulang Bryan.

Bryan yang menyadari kesalahannya langsung mengubah topik pembicaraan. Ia tidak mau sampai bertengkar hanya karena hal sepele ini. "Oh ya, tadi kamu kemana? Aku sampai menunggumu kembali."

"Gak usah kepo. Byee!!"

Devi langsung masuk ke dalam mobilnya karena sudah terlampau kesal dengan Bryan yang menghina para idolanya.

Enak saja idolanya dikatain plastik dan banci. Bryan tidak tahu saja dance atau pun akting mereka sangat hebat hingga mampu membuatnya jatuh hati. Belum tentu Bryan bisa dance sebagus mereka.

"Padahal dibanding Oppa Eunwoo si Bryan Bryan itu masih kalah jauh." Decaknya sebal. Ia mengendarai mobil dengan kencang supaya cepat sampai di pack dan bisa rebahan. Tubuhnya terasa remuk sekarang.

Hanya beberapa menit, dia akhirnya sampai di pack. Keluar dari mobil dan berjalan menuju kamarnya.

"Kamu mulai nakal ya, gadis kecilku." Seringai Darren saat dia menginjakkan kaki di dalam kamar. dan entah mengapa, seringaian itu terlihat sedikit menyeramkan di mata Devi.

-Tbc-

Hayuk spam komen🤣

Next

Lanjut

Semangat

(...) Isi sendiri

Queen Of WerewolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang