22. Salah Paham

11K 546 29
                                    

Tidak terasa hari sudah malam. Aku dan Gigi terlalu asik mengobrol hingga lupa waktu. Membicarakan tentang hal-hal yang biasanya dibicarakan anak muda sampai lupa waktu. Seperti biasa gibah sana sini.

"Udah malem, ayo pulang. Bunda nanti nyariin," ucapku kepada Gigi. Mengecek jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Ayok-ayok cepet. Nanti gue bisa-bisa dicekek bunda lo," timpal Gigi bergidik ngeri membayangkan wajah galak bunda.

Saat aku dan Gigi berpamitan dengan Om Jeffry, Om Jeffry menawarkan diri untuk mengantarkan kita berdua. Sekalian ingin mampir ke rumah Gigi, katanya. Aku dan Gigi langsung setuju saja dengan tawaran Om Jeffry. Daripada kita naik motor malem-malem berdua.

"Motor Gigi titipin di cafe dulu. Besok Om Jef antar ke rumah kamu," ucap Om Jeffry mengambil kunci mobilnya.

"Siap, Om! Makasih, ya udah nganterin kita." Om Jeffry tersenyum tulus. "Bisa-bisabaku dibunuh papamu kalau membiarkan anak gadisnya pulang sendirian malem-malem. Ayo berangkat!"

Terlebih dahulu Om Jeffry mengantarkanku pulang. Setelah itu Gigi karena Om Jeffry ada urusan dengan Papanya Gigi. Selama diperjalanan pulang, Gigi sangat senang mengoceh tanpa henti. Menceritakan kebosanannya selama di rumah saja. Sementara dia iri dengan Om Jeffry yang terjebak Corona di luar negeri.

"Apa yang enak terjebak luar negeri? Disana aku bingung ingin beli tisu toilet. Hampir disemuanya supermarket habis terjual," keluh Om Jeffry.

"Kan Om Jeffry bisa pakai air buat cebok. Ah, nggak kreatif," ejek Gigi. "Terserah kamu saja, anak keras kepala. Kenyataannya tidak semudah itu tinggal di luar negeri ditengah pandemi."

"Om Jeffry baru pulang dari luar negeri? Dimana negeranya?" tanyaku tiba-tiba. Suasana langsung menjadi hening. Karena aku cenderung diam sejak tadi. Baru kali ini aku membuka suara untuk bertanya. Apalagi bertanyanya kepada Om Jeffry.

Dia mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman dan memfokuskan pandangannya ke jalanan. "Baru tiga minggu yang lalu saya pulang dari Jerman. Dua minggu karantina mandiri. Dan seminggu ini saya bisa keluar rumah," jawab Om Jeffry.

Aku mengangguk paham lalu Gigi menatapku aneh. Lalu gantian menatap Om Jeffry. "Kalian berdua ada apa sih? Kaku amat."

"Apaan, sih. Biasa aja." Om Jeffry mengangguk setuju.

"Kita baru saja kenal. Wajar jika masih kaku," tambah Om Jeffry menanggapi.

"Iya deh, biasa aja. Nanti kalo jadian kabar-kabar, ya." Aku langsung memukul lengan Gigi yang duduk di kursi depan. Mana mungkin aku bisa berpikiran akan menjalin hubungan dengan Om Jeffry. Gila memang kadang otaknya Gigi.

Walaupun aku sedang marahan dengan Mas Gray, tidak sedikitpun aku berpikir akan selingkuh dari Mas Gray. Aku bukan tipe perempuan yang suka gonta ganti pacar——sebenarnya aku juga belum pernah pacaran. Apalagi selama ini aku memang jarang punya teman laki-laki. Hanya bisa dihitung jari saja.

Setelah digoda oleh Gigi, aku memilih diam saja selama perjalanan pulang. Aku merasa kurang nyaman dekat dengan Om Jeffry. Bayangan wajah Mas Gray terus muncul dipikiranku. Seakan menghantuiku agar tidak macam-macam saat tidak bersamanya.

Saat sampai di rumah, aku terkejut Mas Gray sudah menunggu didepan rumahku. Iya, Mas Gray duduk di teras rumah layaknya ayah yang menanti anaknya pulang. Gigi langsung bertanya siapa Mas Gray. Karena Gigi tahu aku tidak pernah bercerita soal keluargaku secara detail.

"Eh, itu ada bapak-bapak ganteng duduk di teras rumah lo siapa, Ay?" tanya Gigi.

"Eh, dia Om gue. Adik Bunda gue," jawabku berbohong. Tidak mungkin aku jujur kalau dia suamiku!

Aduh, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang