11. Rumah baru

15.2K 625 13
                                    

Nggak kerasa semalam aku ketiduran di sofa ruang tamu karena menghindari tidur bersama dimalam pertamaku dengan Om Gray. Pas Om Gray udah tidur, aku bawa guling dan selimut ke sofa. Aku takut diapa-apain pas tidur. Apalagi kasur aku juga sempit. Om Gray terus nempel-nempel aku. Aku 'kan jadi risih.

Bunda menepuk pipiku cukup keras sambil teriak-teriak membangunkanku. "Ayana! Ayana! Bangun! Anak bandel," ucap bunda.

"Apaan sih! Ayana masih ngantuk. Ayana enggak ikut sahur! Ayana masih menstruasi!" ucapku sebal lalu menutupi wajahku dengan bantal.

Bunda menarik bantal dari wajahku. Menarik tubuhku untuk segera bangun karena hari sudah siang.

"Kata siapa bangunin kamu buat sahur. Ini udah jam 10 siang, kamu masih tidur! Lihat itu suamimu lagi sibuk beres-beres barang-barangnya. Kamu juga sama, sana beres-beres barang kamu!"

"Kenapa aku harus beres-beres! Aku masih mau tinggal sama bunda dan ayah!" ucapku.

"Eits! Kamu mau dikeluarin dari sekolah karena ketahuan udah nikah?! Di lingkungan rumah ini banyak mata-mata berbahaya. Lebih baik pindah ke rumah baru kamu dengan suamimu. Di sana jaraknya jauh dari sekolah dan rumah teman-temanmu. Dijamin rahasia ini akan tertutup rapat. Percaya sama bunda," tutur bunda sambil menggenggam tanganku. Lalu bunda memelukku erat. Aku menangis di pelukan bunda.

"Aku pasti bakal kangen sama omelan bunda. Kalo ada waktu luang main ke rumah Ayana, ya," pintaku.

Bunda mengangguk dan mencium keningku. "Udah-udah jangan nangis. Sekarang cepet mandi dan siap-siap. Bentar lagi suami kamu datang."

***

Om Gray memasukkan koper-koperku ke dalam mobilnya sementara aku pamit dengan bunda dan ayah. Rasanya berat meninggalkan rumah yang telah aku tinggali sejak kecil. Terlalu banyak kenangan di rumah ini.

Om Gray merangkul pinggangku. Memberikan kecupan dirambutku. "Sudah siap? Kita harus segera berangkat."

Aku mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Melihat ayah dan bunda yang melambaikan tangan kepadaku, air mataku mengalir. Namun aku menghapus air mataku dengan kasar.

"Ayana pamit, ya," ujarku lalu menutup kaca mobil. Aku menahan tangisanku agar tidak pecah. Tidak mungkin aku menangis didepan Om Gray. Ya, walaupun sekarang dia suamiku, tetap saja ada rasa canggung dan malu.

Perjalanannya cukup lama dan jauh dari rumah lamaku. Pantas saja bunda bilang rumah baruku adalah tempat yang aman untuk menyembunyikan rahasia pernikahanku. Ya, semoga saja rahasia ini tetap tertutup rapat sampai aku lulus sekolah.

Saat aku sedang melamun menatap keluar kaca mobil, Om Gray meraih tanganku. Menggenggamnya erat. Om Gray tersenyum kepadaku.

"Jangan terus bersedih, aku tidak menyukainya." Jemari tangannya menyusuri pipiku yang masih basah karena menangis. Menghapus bekasair mata yang tersisa.

"Apa yang bisa membuatmu kembali bahagia?" tanya Om Gray.

"Tidak ada," jawabku singkat.

"Benarkah? Katakan saja jangan malu—

"Makanan." Om Gray tertawa mendengar jawabanku. Dia mengangguk dan bilang ada restoran yang enak didekat rumah baru kita.

"Nanti kita mampir ke restoran dekat rumah baru kita. Sebentar lagi juga waktunya berbuka puasa," tutur Om Gray.

Aku mengangguk menurut saja. Jujur saja aku lapar. Seharian aku tidak makan walaupun aku sedang datang bulan. Aku cuma minum satu botol air mineral.

"Apa masih jauh? Kita sudah hampir 3 jam perjalanan," ucapku kesal karena merasa sudah sangat lapar. Perutku terus meronta-ronta ingin makan.

"Tidak sebentar lagi kita sampai. Itu restorannya," ucap Om Gray sambil menunjuk ke arah restoran.

'Syukurlah. Aku sudah sangat lapar,' gumamku lega saat telah sampai di restoran.

Om Gray membuka pintu mobil untukku.  Aku segera turun dan berjalan paling depan. Aku sudah tidak sabar untuk makan. Aku melihat Om Gray berjalan sangat lambat, segera aku tarik tangannya untuk ikut berjalan cepat sepertiku.

"Ayo! Om Gray cepat! Ini udah mau buka puasa! Nggak baik tahu menunda-nunda waktu berbuka," ucapku.

"Iya-iya, sayang." Aku langsung menatapnya aneh. Sayang, katanya. Nggak papalah yang penting perutku kenyang.

"Mau pesan apa?" tanya Om Gray saat aku melihat-lihat daftar menu.

Buset! Harganya mahal-mahal banget. Salad buah aja harganya 150 ribu. Aku jadi nggak lapar lagi kalo harganya kayak gini.

"Hmmm .... Om Gray, pindah tempat aja yuk," bisikku kepada Om Gray agar pelayan disini tidak mendengar ucapanku.

"Sekarang sudah waktunya berbuka puasa. Kalau cari restoran lain, akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Kita makan disini saja, ya," ucap Om Gray lalu mengelus rambutku. Aku mengangguk dan meringis kikuk.

'Tapi— harganya mahal ...,' batinku menjerit.

Om Gray akhirnya memesankan semua menu yang ada di restoran ini. Aku tercengang melihat banyak makanan di mejaku. Aku sempat melihat semua harga makanan ini sangat mahal. Aku jadi tidak rela untuk memakannya. Perut kampungku, mana bisa makanan makanan mahal.

"Kenapa tidak di makan? Apakah tidak enak?" tanya Om Gray.

Aku menggeleng. "Rasanya enak kok, cuma ...."

Om Gray mulai mengerti maksudku. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku. "Jangan khawatir. Aku bisa membayar semua makanan ini."

"Tapi tidak baik membuang-buang uang sebanyak ini. Lebih baik uangnya ditabung untuk masa depan kit— tidak jadi. Pokoknya jangan boros," ucapku lirih.

"Baiklah kalau begitu, lain kali aku tidak akan membuang-buang uang. Sekarang kamu makan, ya. Daripada membuang-buang makanan," ucap Om Gray.

Aku mengangguk, dan memakan makananku. Om Gray memperhatikanku saat aku sedang asik menyuapkan makanan ke dalam mulutku dengan lahap. Aku merasa tidak enak terus diperhatikan.

"Om Gray sudah makannya?" tanyaku.

"Melihatmu makan dengan lahap, sudah membuatku kenyang," jawabnya lembut.

Uh, hatiku meleleh. Om Gray emang paling bisa mengambil hatiku. Kalo gini terus aku bakal jadi budak cintanya Om Gray.

 Kalo gini terus aku bakal jadi budak cintanya Om Gray

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ehem ....

Aduh, Om!Where stories live. Discover now