25. Ahlinya

12.1K 567 30
                                    

Mas Gray meremas ujung bajuku dengan kuat. Aku meliriknya sekilas. Mas Gray melotot kepadaku. Seakan menyuruhku untuk segera mengusir Om Jeffry dan Gigi pergi sebelum terjadi perang dunia.

Tapi bagaimana aku mau bilang ke Gigi. Nggak mungkin aku tiba-tiba nyuruh dia pulang. Apalagi Gigi sudah biasa main ke rumah lama-lama tanpa pernah aku suruh pulang. Akhirnya aku tahan Mas Gray untuk lebih sabar sedikit.

Aku tersenyum lebar kepada Mas Gray. Menggenggam tangannya agar tidak lagi meremas ujung rok ku. "Mas—— Om Gray katanya tadi ada kerjaan," tanyaku pura-pura agar Mas Gray segera pergi.

"Pekerjaanku telah selesai. Kau tenang saja. Tugasku sekarang adalah mengawasimu," jawab Mas Gray mantap. Memperbaiki posisi duduknya agar semakin nyaman.

Okelah. Lebih baik aku ajak Gigi ke kamar saja. Aku biarkan Mas Gray dan Om Jeffry berduaan di ruang tamu.

"Gigi! Kita ke kamar yuk," ajakku.

"Ayok! Gue mau minta drakor sekalian," ucap Gigi antusias.

Mas Gray menahan tanganku untuk tidak beranjak pergi. "Loh kok malah ditinggal pergi?"

"Om Gray sama Om Jeffry silakan berbincang-bincang dengan tenang. Aku mau seneng-seneng bareng Gigi," tegasku lalu menarik tangan Gigi untuk segera pergi meninggalkan Mas Gray dan Om Jeffry berdua.

Namun aku tentu saja tidak pergi begitu saja. Aku melipir ke dapur dan menguping dari balik pintu perbincangan kedua pria dewasa itu. "Kok malah ke dapur? Gue kan mau minta drakor," keluh Gigi.

"Udah diem aja, nanti gue kasih. Gue penasaran apa yang dibicarain Om Gray sama Om Jeffry. Mereka kayaknya nggak akur," ucapku.

"Udah tahu nggak akur, kenapa ditinggalin berdua Ayana Aziziah!" aku membekap mulut Gigi agar tidak terus berbicara.

"Udah diem. Nanti kita ketahuan!" Gigi mengangguk dan diam. Baru saja Gigi bisa diam, bunda malah tiba-tiba datang dan menepuk pundakku dari belakang. Membuatku langsung berjingkat kaget.

"Kalian kenapa main di dapur? Mau bantu bunda buat bolu pisang. Ayo sini-sini! Gigi aduk telurnya pakai mixer. Ayana kamu bantuin kupas pisangnya!"

Aku dan Gigi saling bertatapan lemas. Niatnya pengen menguping pembicaraan Mas Gray dan Om Jeffry, malah disuruh bantuin bunda.

"Yah... Elah...."

Bunda menoleh kearah ku dan Gigi dengan tatapan tajam. "Kalian bilang apa tadi?! Nggak mau bantuin bunda?! Mau jadi anak durhaka? Disuruh orang tua susahnya minta ampun. Giliran ada maunya pura-pura baik. Nggak diturutin nangis. ckckck...."

Gigi mengangguk cepat, "Mau kok, Tante. Sini-sini mixer-nya biar Gigi yang pegang."

Gigi menyenggol perutku dengan sikunya. Memberiku kode bahwa lebih baik tidak menolak perintah bunda. Atau kita tidak akan keluar dapur dengan hidup-hidup. "Iya-iya mau. Bunda sensian amat. Mana pisangnya?!" timpalku kesal.

Bunda menyodorkan pisangnya kepadaku. "Kupas kulitnya terus dihancurin pakai garpu!" perintah Bunda.

"Iya," jawabku singkat. Aku lirik Gigi melakukan pekerjaannya dengan baik. Iya lah baik, orang di pantau terus sama Bunda. Berani-beraninya bunda mengomeli anak orang. Untung saja Gigi nggak pernah sakit hati dengan ucapan bunda. Emang udah begitu dari dulu, bundaku cerewet dan menyebalkan.

Cuma Gigi salah satu sahabatku yang malah ketawa lihat bunda marah-marah. Beda dengan temanku yang lain, mereka malah takut main ke rumah karena cerewetnya bunda. Dan pertemanan kita akhirnya awet sampai sekarang. Karena kita saling memahami dan mengerti satu sama lain. Bukan tipe pertemanan yang baperan dan jaim. Tapi sayang, aku belum bisa jujur tentang pernikahanku dengan Mas Gray. Kelihatannya Gigi juga suka dengan Mas Gray. Ah, perasaanku jadi kacau.

Aduh, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang