47: Calathea

2.8K 344 56
                                    

Kerajaan Lavera yang sudah diratakan oleh Clarzarea witch telah menjadi suram. Burung-burung gagak sedang berpesta ria, memakan daging yang menempel di tulang-belulang mayat yang tergeletak dimana-mana. Ulat-ulat dan serangga tak mau kalah, mengerubungi daging-daging manusia yang sudah membusuk. Siapa saja yang memiliki hati nurani pasti tidak akan sanggup melihat yang telah terjadi di tanah Lavera. Tanah dan pepohonan pun merasa bersalah karena telah menjadi saksi bisu dan tidak bisa berbuat apa-apa atas kekejaman para penyihir Clarzarea.

Lavera bukanlah kerajaan yang termasuk besar, bahkan urutan kerajaan Lavera masih di bawah jauh dari kerajaan Akalie. Itulah mengapa para Clarzarea mudah untuk menghabiskan penduduk kerajaan, karena kerajaan Lavera termasuk kerajaan kecil yang baru berdiri.

Di kastil, Zarea duduk di singgasana milik Raja Lavera sembari meminum darah manusia untuk memulihkan daya tubuh dan kekuatannya karena ia baru saja bangkit dari kematian. Menghancurkan kerajaan Lavera belum ada apa-apanya, karena kerajaan yang sangat ia tunggu-tunggu adalah kerajaan Akalie. Zarea tahu bahwa Dzaldzara bersembunyi di dalam teritorial Akalie.

Membinasakan seluruh penghuni kerajaan Akalie dan para Dzaldzara adalah hal yang mudah untuknya karena Dzarine telah mati, tidak ada yang bisa mengalahkan sihirnya, karena yang dapat menandinginya adalah Dzarine, dan Dzarine telah mengorbankan dirinya sendiri untuk menghabiskan Zarea. Seharusnya Zarea tidak perlu risau untuk menghabiskan manusia dan Dzaldzara, namun sampai pada satu ketika, peramal membawa berita bahwa Dzarine akan bangkit dalam tubuh manusia.

Itulah mengapa Zarea duduk di singgasana dengan para penyihir lain  yang berdiri di depannya. Zarea menyesap darah segar, lalu suaranya menggema di kastil, "Tidak ada waktu, cepat bawa manusia yang akan menjadi tubuh Dzarine itu! Apakah aku menyuruh kalian bersantai!?"

Para penyihir lain menunduk takut mendengar gema suara Zarea di kastil. "Wanita itu masih manusia biasa, mengapa kalian lama sekali bertindak?"

Penyihir di samping Zarea berbisik,"Saat ini kita sedang mengawasinya, wanita itu tinggal di dalam kerajaan, itu membuat kita sedikit susah untuk bertindak."

"Aku tidak ingin lama-lama, sebentar lagi bulan purnama darah akan datang, aku ingin manusia itu dihabiskan sebelum datangnya bulan purnama darah," tegas Zarea dengan matanya yang tajam penuh tekanan, rambut hitam legamnya menjuntai panjang sepunggung dengan dihiasi mahkota tulang di atas kepalanya.

Penyihir lain pun menyahut, "Kami sudah memasukkan penyusup ke kastil Akalie, saat ini wanita itu dalam pengawasan kami. Kami menunggu waktu yang tepat untuk membawanya ...."

***

Suara denting pedang menggema di ruangan kedap suara itu .... Zephran menumpahkan kekesalannya dengan melatih pedang bersama pelatih. Jika saja Zephran bisa menangkap penyihir yang telah membunuh para prajurit di kamp tiga ..., ia pasti sudah memenggal kepala penyihir itu dan mengukir kepalanya dengan pisau tajamnya.

Alunan pedang Zephran semakin kuat, menyerang pelatih tiada henti. Pelatih kelimpungan mengikuti gerak main Zephran, memblokir pedang yang sedari tadi menyerang. Suara nafas yang tersengal berdampingan dengan suara pedang yang beradu. Atmosfir yang ada di ruangan itu terasa panas, jendela yang terbuka tidak berpengaruh apa-apa.

Sepasang mata yang bergetar dengan suara detak jantung yang berdegup kencang, menyaksikan di pinggir ruangan tempat mereka berlatih. Alyssa berdiri dengan keringat yang membasahi keningnya. Zephran yang berlatih, Alyssa yang berkeringat. Setiap dentingan pedang yang terdengar, Alyssa ingin berteriak.

Sudah tiga puluh menit Alyssa menyaksikan Zephran berlatih pedang, namun tidak ada tanda-tanda mereka akan berhenti latihan. Alyssa kepanasan, dan mencoba menyusuri ruang khusus melatih pedang yang luas ini sembari menggulung rambutnya yang panjang. Tidak banyak yang dapat dilihat di dalam ruangan ini, hanya terdapat ruangan lain yang berisi macam-macam pedang dan samurai, Alyssa bergidik ngeri sembari berjalan jauh dari ruangan itu.

DzaldzaraWhere stories live. Discover now