Prologue.

30.5K 2.5K 340
                                    

"Sudah aku bilang, jangan menunjukkan wajahmu di depan kerabat ayahmu!" ucap seorang wanita setelah menarikku ke kamar. Panggilan wanita, cocok untuknya daripada aku harus memanggilnya ibu.

"Kau tetap di sini, tidak boleh keluar selagi ada tamu ayahmu," lanjutnya, lalu pergi meninggalkan kamarku.

Sebelum ayah pergi meninggalkan aku, semuanya tidak terjadi seperti ini. Kami selaku keluarga yang sangat bahagia daripada keluarga lain.

Namun, setelah ayah pergi menemui Sang Pencipta–dua tahun lalu–dan satu tahun kemudian ibu menikah dengan duda anak satu, yang namanya cukup berpengaruh di dunia.

Perempuan yang selama sembilan belas tahun aku panggil ibu, telah berubah menjadi seorang wanita, yang tidak peduli lagi terhadap anak kandungnya.

Kenapa aku tidak boleh menampakkan muka di depan kerabat duda itu? Karena sebelum ibu menikah dengan duda itu. Duda itu mempunyai permintaan, bahwa, di depan publik ibu belum mempunyai anak. Jadi, beginilah hidupku, tidak dianggap orang-orang.

Keluarga ini bermandikan harta setiap harinya, dan keluarga yang sangat harmonis untuk mereka.

Semua fasilitas mewah diberikan untukku. Tapi untuk apa, jika aku tidak merasakan sebuah keluarga untukku sendiri.

"Huh ... bosan," dengusku, lalu bangkit dan berkeliling di kamarku yang baru aku tempati dua hari yang lalu. Tadinya kamarku di lantai atas dan sekarang dipindahkan di lantai paling bawah, bisa disebut lantai-bawah-tanah. Yah, takut aku keluar lalu menampakkan diri di depan kerabat duda itu mungkin, makanya aku dipindahkan kesini.

Lantai kayu yang berderit jika aku berjalan, dinding berwarna abu-abu kusam yang cukup membuat mataku bosan melihatnya. Dan barang-barang lain seperti lemari, tempat tidur, nakas–tidak banyak yang terhias di kamar ini, dan tentunya dengan sebuah kamar mandi yang cukup luas.

Aku menaruh tanganku di permukaan dinding yang sudah mulai usang, lalu tanganku mengikuti sebuah retakan halus yang berkelok-kelok lalu berakhir di sudut, namun retakan halus itu membentuk retakan lagi yang mengarah ke atas dan ke bawah, tapi kali ini retakannya tidak bisa dibilang retakan halus lagi.

Aku pun mundur beberapa langkah, dan melihat, retakan ini kalau diamati berbentuk seperti sebuah pintu. Lalu aku mundur beberapa langkah lagi, ada bundaran yang tidak cukup besar berwarna hitam.

Aku pun maju lagi dan menyentuh bundaran hitam itu. Kasar, dan agak lapuk.

"Ini sungguh lucu, retakan ini berbentuk seperti pintu!" monolog ku sendiri.

Aku beranjak meninggalkan retakan yang berbentuk sebuah pintu itu, namun...,

Tukk.

Kakiku menghantam lantai kayu yang agak naik dari tempat lantai kayu itu berada. Membuatku terhuyung menghantam tembok, lalu terpental sedikit kedepan seperti ada yang mendorong. "Aww...," keluhku, lalu melihat ke dinding.

"Seperti ada yang berubah ...," ucapku sembari mengamati dinding tersebut. "bodoh, bundaran itu yang berubah."

Benar, bundaran hitam itu maju beberapa senti dari tempatnya. Dan sekarang benar-benar mirip sebuah pintu yang memiliki bundaran yang sebagai gagang pintu.

"Astaga! Apa itu benar-benar pintu?" tanyaku sendiri. Karena aku perempuan yang sangat penasaran akan sesuatu, aku pun menyentuhnya, tanpa aba-aba langsung memutarnya dan ....

Retakan itu benar-benar sebuah pintu dan sekarang terbuka. Kira-kira itu pintu apa ya? Mengapa misterius sekali?

Tanganku terjulur ke gagang pintu, lalu menariknya dan terdengar bunyi derit pintu yang menandakan bahwa pintu itu sudah lama tidak dibuka.

Sinar yang sangat terang menghantam mataku sampai aku memejamkan mata karena tidak bisa mengatur cahaya yang masuk ke mataku.

Dengan sedikit-sedikit aku pun membuka mata. "Astaga!" teriakku kaget, lalu menutup mulutku dengan sebelah tangan, menatap ke depan dengan pandangan takjub.

Di balik pintu ini terdapat pemandangan batu-batu dan tanah yang terlihat lembab.

Di seberang sana ada tanaman yang bergelantung dari atas, seperti gorden, merambat. Dan di balik tanaman itu ada sumber cahaya daripada di depanku ini.

"Astaga, mengapa di dalam pintu ini ada tempat yang begitu luas!?" teriakku terkejut, dan dengan cekatan tanpa berpikir dua kali, aku berganti pakaian yang lebih tertutup dan berbulu.
Mungkin saja di sana sangat dingin!

Aku sudah bersiap menginjak tanah lembab itu. Tapi sebelum itu, aku mengambil sapu yang terdapat di pojokan sebelah kiri, dan mematahkan bagian bawahnya. "Untuk berjaga-jaga jika ada yang jahat!"

Setelah gagang sapu ku pegang, dengan segenap keyakinan aku melangkah, menginjak tanah yang dingin dan lembab itu. Tiba-tiba pintu di belakangku tertutup dengan sendirinya....

• • •

Cerita ber-genre fantasi pertama yang Mosya buat. Cerita ini idenya udah lamaa dan beberapa part udah ditulis. Tapi belum selesai. Modal nekat buat publish cerita ini, semoga cerita ini bisa sampai ending disini!

Jangan lupa tekan bintang dan komen ya!

regards,

.Mosya Caramello.

23/Maret/2019

DzaldzaraOnde histórias criam vida. Descubra agora