Bab #56

307 19 1
                                    

Selamat Membaca ♥️


2 Minggu Kemudian...

Disaat yang lain bergembira karena mereka berhasil naik kelas, berbeda halnya dengan Lily yang justru termenung di ruang kelasnya. Sendirian, sepi, sunyi, dan sedikit berdebu.

Gadis dengan perawakannya yang ramping menundukkan kepalanya sedikit. Menatap dalam-dalam sebuah meja yang pernah menjadi tempat Alan belajar. Jemarinya memegang setangkai bunga Lily favorit Alan. Dia kembali mengingat kenangan-kenangan indah bersama Alan. Nangis bersama, tertawa bersama, hari-hari mereka lalui secara bersama-sama. Tapi semuanya sudah berakhir.

Lily dengan rambutnya yang tergerai lurus tersenyum kecut, jemari lentiknya mengusap meja Alan dengan penuh kasih sayang. Relung hatinya terisi penuh oleh rasa rindu yang terus saja bertambah namun semakin menyakitkan. Pelan-pelan ia letakkan bunga itu ke atas meja Alan beserta rekap nilainya selama ia masih bersekolah di sini.

Tatapannya tampak kosong. Dia benar-benar tidak nafsu untuk hidup. Namun jika dia melakukan hal tercela itu, tentunya Alan tidak akan senang. Dia pasti sangat-sangat sedih melihatnya.

Air matanya luruh dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.

"Alan, berapa lama lagi aku harus nunggu kamu?" Lily mulai bermonolog. Matanya masih setia menatap benda kenangan yang ada didepannya.

"Apa gak ada cara lain lagi selain bertemu lewat mimpi? Kamu tau kan kalo aku tersiksa? Aku itu rindu sama kamu, Alan." Keluhnya dengan nada lirih.

"Setiap kali aku berusaha melupakan kamu, pada saat itu juga aku semakin merindukan kamu. Gimana caranya, Alan? Gimana caranya supaya aku bisa melupakan kamu? Merelakan kamu seutuhnya?" Tanya Lily pada kesunyian.

Apa yang Lily katakan benar adanya. Dia belum merelakan Alan sepenuhnya, padahal dirinya pikir itu semua sudah berakhir, namun ternyata semua itu bohong. Air matanya semakin mengalir deras. Kenapa hidupnya begitu menyedihkan? Kenapa takdir selalu saja merebut orang yang ia cintai? Bisakah Lily mengatakan bahwa dunia begitu keji pada dirinya?

Atau memang dirinya yang buta akan cinta? Tapi ini semua karena Lily ingin merasakan bagaimana dicintai oleh sosok lelaki seperti dicintai oleh sang Ayah.

Lily memegang dadanya yang mulai terasa sesak. Kepalanya bergerak menoleh ke arah kiri. Menatap sayu dedaunan yang berjatuhan tertiup angin. Dia menaruh penuh harapan kepada sang langit.

"Alan, kita semua berhasil naik kelas. Gak ada satupun yang gagal, Lan. Apa disana kamu juga berhasil?" Tanya Lily yang tidak digubris siapapun.

Lily [COMPLETED]Where stories live. Discover now