Bab #33

205 9 1
                                    

Ketika kebenaran tepat ada didepan matamu, tapi kamu tidak pernah mengetahuinya.

- Alan -

Selamat Membaca
.
.
.

Setelah sampai tepat di depan pintu UKS, Nara berusaha mengatur nafasnya. Ia memegang dadanya yang cukup sesak akibat berlari. Dia juga sampai berkeringat seperti ini. Semoga saja aroma wanginya tidak hilang, pikirnya.

Nara pun melangkah masuk sambil menarik nafasnya kemudian membuangnya perlahan-lahan. Langkahnya ia percepat, tak sabar melihat kondisi Lily saat ini.

Begitu sampai tepat dihadapan ranjang Lily, Nara langsung berteriak histeris.

"HUAAA MY BESTIE, MY DUGONG, MY FLOWER TERCINTA YANG-" dengan sigap Alan membekap mulut Nara.

"Sssttt! Eh Mak Comberan! Lo buta, hah? Ini sahabat Lo lagi pingsan malah konser! Gimana sih Lu!" Protes Alan emosi. Nara dengan watados nya tersenyum sambil terkekeh. Alan pun menjauhkan telapak tangannya dari mulut Nara dan gadis itu masih saja tersenyum. Alan melotot membuat Nara ciut seketika.

Nara berdeham. "Ya maaf, Lan. Habisnya gue itu khawatir banget tau!"

Alan mendengus pelan. "Terserah Lo aja deh. Jagain dia bentar, gue mau buatin teh dulu." Nara mengangguk kemudian Alan melangkah pergi.

Tapi sebenarnya Alan belum pergi. Dia malah bersembunyi di balik bilik lain. Dia ingin tau, apakah ada rahasia yang mereka sembunyikan?

Kini Nara duduk dengan badan yang lesu. Melihat sahabatnya yang seperti ini, Nara jadi sangat sedih. Inilah yang ia takutkan. Setiap kali Lily terjatuh, pasti pingsan. Dan bangun-bangun pandangannya kosong kayak orang lagi kerasukan.

Bibir Nara melengkung ke bawah. Ia menundukkan kepalanya untuk menghapus air matanya.

Nara mencoba mengatur nafasnya.

"Gue pikir Lo udah sembuh, Ly. Tapi nyatanya masih sama aja. Sebenarnya Lo itu sakit atau gimana sih, Ly?" Tanya Nara yang tidak digubris oleh siapapun.

Nara menghela nafas panjang. "Tiap kali jatuh, pasti pingsan. Mau pelan kek, mau jatuh cantik kek, intinya kalo udah jatuh aja, pasti pingsan." Monolog nya.

Tatapannya sendu. Kedua tangannya terulur menggenggam salah satu tangan Lily. Ia mengusap-usap punggung tangan Lily untuk memberikan kehangatan. Kini tangan kirinya beralih mengelus puncak kepala Lily dengan sayang.

"Mau sampai kapan Lo kayak gini?" Nara menghela nafas lagi. "Lo gak pernah cerita ke gue soal ini. Lo selalu bilang ini udah jadi hal yang biasa."

Nara menatap cukup lama kondisi Lily. Hening menyelimuti ruangan ini. Hanya detik jarum jam saja yang bisa membuat orang lain jadi risih. Tatapan Nara tak sengaja melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 12.55. Ia pun menarik ulurannya perlahan- lahan lalu meletakkan tangan Lily secara perlahan. Nara tersenyum sejenak.

"Sebentar lagi bel masuk kelas, gue pamit dulu ya. Cepat sembuh sahabat laknat." Tutur Nara sembari bangkit dari duduk.

Alan langsung bersembunyi begitu mendengar langkah Nara. Alan menutup mulutnya takut kalau dia tiba-tiba bicara. Setelah dipastikan aman, Alan pun melihat Lily sejenak.

Senyum Alan terbit. "Tidur aja cantik." Pujinya, tersenyum. Ia pun meninggalkan Lily sebentar untuk membuatkan teh hangat.

Kini tersisa Lily sendirian. Tidak, dia tidak sendirian. Ada seseorang yang juga menunggunya.

Perlahan-lahan mata Lily terbuka. Kilatan cahaya matahari membuatnya menyipit. Lily mencoba beradaptasi dengan sekitarnya. Ia memegang kepalanya yang masih cukup pusing. Perlahan-lahan dia berusaha untuk bangun disertai rintihan kecil.

Lily [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang