(4)

1K 105 16
                                    

Di hari pernikahan tiba, Sean sudah siap dengan segalanya. Berupa pakaian yang Atika beri untuknya sudah terpasang rapi di tubuhnya. Juga dengan sebuah hadiah yang telah dia siapkan untuk Atika sebagai bentuk rasa sayangnya. Ya, Sean tidak pernah membenci Atika yang memperlakukannya tidak adil, antara dirinya dan harta. Sean tidak pernah membenci Atika, dia hanya kecewa dengan pengabaian akan dirinya. Terlalu kejam rasanya jika Sean membenci Atika karena ia adalah sosok ibu yang menjadi penopang hidupnya selama ini.

Sean mulai melangkah meninggalkan rumah, alamat pesta telah terekam di memorinya karena pestanya diadakan di hotel milik Atika sendiri. Memang benar Sean belum pernah bertemu dengan keluarga besar calon ayahnya dan Sean hanya pernah bertemu dengan pria yang akan menjadi pengganti ayah baginya nanti. Meski sedikit kecewa, tapi Sean tetap memaksa langkahnya untuk bergegas ke sana. Karena hadirnya tentu dibutuhkan di sana sebagai anak dari pengantin wanita.

Dering ponsel sedikit menganggunya yang membuat Sean menghentikan langkah di depan motor yang mesinnya sudah menyala. Panggilan dari Diki salah satu temannya itu membuat Sean segera mengangkatnya. Sean memang tidak mengundang satu pun teman-temannya ke pesta Atika. Karena Sean pikir Atika pasti tidak akan suka. Mengingat dulunya Atika yang pernah melarang Sean berteman dengan mereka.

"Apaan?" tanya Sean mulai menaiki motornya

"An ... tolongin gu--e! Me--mereka arggh ... mereka mau ngabisin Fadil! Kita sekarang ... enggak jauh dari rumah lo, didekat jembatan penghubung ...."

Diki menutup telfonnya begitu saja setelah memberitahu lokasinya. Sean berkerut dengan keringat lolos di sudut telinganya. Mendengus kecil, Sean mengemudi segera ke arah yang disebutkan oleh Diki tadi. Sean tentunya paham dengan petunjuk yang diberikan Diki karena itu memang tidak jauh dari arah rumahnya. Sean khawatir dengan mereka, tentu saja karena hanya dua orang itu yang mau menyebut diri mereka adalah temannya Sean. Meski Sean tahu, tujuan utama mereka berteman dengan Sean bukan kesetiakawanan, tapi uang yang menjadi alasan. Bagi Sean itu tidak masalah selagi dia bisa merasakan bagaimana rasanya dirangkul oleh orang yang menyebut diri mereka teman.

Tidak banyak waktu yang terpakai untuk segera tiba di sana, dengan segera Sean turun dari motornya. Hal pertama yang menyambutnya adalah, tubuh Fadil yang ditarik paksa dari tidurnya di atas trotoar. Mengepalkan tangannya kuat, serta menggertakkan gigi-giginya, Sean melangkah maju ke arah orang yang menarik Fadil. Dua di antara mereka siap menantang Sean yang baru datang karena tadi mereka mempergoki Diki yang tengah menghubungi seseorang, jadi mereka yakin Sean adalah orangnya. Balasan dari semua itu, sekarang Diki tidak lagi bergerak dan hanya mampu menoleh menatap kehadiran Sean sebagai bantuannya.

Sean mengabaikan dua orang yang menghalanginya, tujuan ada di depan sana. Bukan dua orang yang menghalangi jalannya. Tidak masalah dengan pukulan yang menghujami wajahnya, Sean tetap pada pendiriannya. Yaitu, orang yang menarik Fadil dengan senyuman jeleknya. Sean menarik kerah bajunya sebagaimana orang itu menarik kerah baju Fadil. Dengan mata yang menyiratkan kebencian itu, Sean memberinya pukulan hadiah pertemuan pertama mereka.

Laki-laki itu meludah saat darah bercampur dengan air ludahnya. Dia tersenyum miring seraya menatap dua orang temannya yang berada dalam kebingungan melihat Sean yang tidak menghiraukan pukulan mereka. Laki-laki itu kemudian beralih menatap Sean dan mendorong kuat dada Sean agar menjauh dari arahnya. Laki-laki itu kemudian memperbaiki posisi berdirinya dan sedikit menyeka darah di sudut bibirnya seolah ia juga menganggap remeh pukulan Sean.

"Jadi lo yang namanya Sean? Anak yang dihubungi sama Teri Sialan itu?" tanya Laki-laki itu dan menunjuk Diki sebagai teri yang dia maksudkan.

"Iya, cari mati lo?" tantang Sean seangkuhnya dan mendekatkan langkah kepada dia yang berlagak sok kuat.

Sea (n) Sky [End✅]Where stories live. Discover now