(9)

685 96 26
                                    

Bersamaan dengan itu, kerah bajunya ikut tertarik ke belakang yang membuatnya melepaskan tarikan pada rambut Kuntum. "Lo pikir lo lagi narik rambut siapa?" Suara dingin dan membuat suasana terasa membeku itu membuatnya menjadi bahan tontonan orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia Sean, dengan mata tajam setajam elang yang tidak akan melepaskan tatapannya dari mangsa yang sudah ia targetkan.

Dia yang menjadi pihak kedua dalam masalah yang menimpa Sky pun menoleh ke arah suara Sean yang menariknya kasar. "Sean ... ya?!" ujarnya dengan mengangkat kedua tangan ke udara pertanda dia tidak berani melakuka perlawanan apa-apa.

Sean mendekatkan mulutnya ke telinga laki-laki itu dan berbisik, "Sekali lagi gue liat lo nyakitin pacar gue ... abis lo!" ancam Sean dan mendorongnya agar meninggalkan tempat itu segera.

"Tuh, liat. Sean selalu aja ikut campur masalah orang lain!"

"Entah! Enggak ada kerjaan lain apa?!"

"Giliran berantem aja dia ada, kalau belajar malah bolos. Jijik, sumpah!"

Inilah Sean yang selalu salah di mata mereka yang menyaksikan Sean dalam bertindak. Tidak peduli perlakuan Sean benar atau salahnya, mereka yang membenci Sean akan ada saja perkataan kotor untuk menjatuhkan Sean. Ini memang tidak sepenuhnya salah mereka yang memandang buruk siapa Sean. Karena ini juga salahnya Sean yang mungkin pernah mengganggu salah satu di antara mereka. Jadinya mereka yang menjadi teman orang-orang yang pernah diganggu Sean pun akan  beranggapan sama. Pastinya mereka akan mendengarkan dengan baik betapa buruknya Sean dan akan menyimpannya sebagai bahan bagi mereka nantinya untuk merendahkan Sean.

"Udah ah, cabut. Enggak asik kalau ada dia, mah!"

Sebagian mulai meninggalkan kerumunan dan menyisakan beberepa di antara mereka yang masih penasaran dengan Sky yang sempat mendapat tendangan pada perutnya. Di sana Sean mulai mendekati Kuntum untuk memastikan gadisnya baik-baik saja. Memastikan bahwa dia tidak mendapatkan luka yang mengharuskan Sean membalaskannya kepada dia yang berulah.

"Kuntum, enggak apa-apa?" tanya Sean mendekat.

Di luar harapan, Kuntum membuang muka dan lebih memilih menatap Sky. "Lo enggak apa-apa? Perlu gue antar ke UKS?" tanya Kuntum kepada Sky yang memegangi perutnya.

"Ah! Gue oke kok. Lagian juga gue yang salah tadi. Karena enggak hati-hati, gue malah nabrak orang, ya gini deh, jadinya. Niat awal sih, cuma mau ngapalin daerah sekolah aja. Seharusnya 'kan gue minta bantuan orang lain, tapi gue malah pergi sendirian," jawab Sky sejujurnya karena memang ia yang salah.

"Makanya kalau cacat diam di kelas aja sana. Ngapain keliaran enggak jelas? Udah tau buta sok-sokan keluyuran segala. Di kelas aja 'kan bisa?!" sewot Sean kesal dengan Sky yang ikut melibatkan Kuntum dalam masalahnya.

Kuntum berbalik menatap Sean dengan mata tajam, tanpa ragu gadis itu menampar Sean dan tidak peduli dengan sekitar banyak orang yang menyaksikan. "Lo itu yang buta, bukannya bantuin malah diam gitu aja. Kalau lo emang manusia, pasti lo bantuin saudara lo, bukannya pura-pura enggak tau kayak tadi." Ucapannya tak hanya menusuk Sean, tapi juga membuat daerah sekitar menertawakan Sean.

"Ups, ditampar!"

"Lah? Sean punya saudara?"

"Gue dengar sih, iya."

"Berani taruhan enggak? Kalau mereka putus, uang yang lo punya hari ini buat gue. Sebaliknya, kalau mereka enggak putus uang gue buat lo, gimana?" taruh seseorang kepada temannya.

"Ogah ah, pasti gue kalah kalau gitu mah!"

Sean tidak apa jika harus ditampar oleh Kuntum, tapi yang Sean tidak terima adalah ucapan mereka di sekitarnya. Sean pikir ia tidak akan apa-apa dengan ejekan di sekitarnya karena sudah terbiasa. Namun, rupanya tetap saja sakit yang dirasa. Sean pun menarik kerah baju salah satu dari mereka yang menertawakannya. Sean tidak terima dengan pandangan rendah mereka terhadapnya. Sean memang akan menunjukkan dirinya sesuai dengan apa yang orang lain pikir terhadapnya. Namun, tidak dengan mereka yang menganggap Sean melucu untuk mereka tertawa. Dengan mengancam salah satu di antara mereka, harapan agar yang lainnya tidak lagi tertawa bisa terkendalikan. Melihat Sean yang tengah emosi itu membuat mereka mengunci mulut. Karena tidak ingin menjadi sasaran akan amarah seorang Sean selanjutnya.

Sementara itu Kuntum tampak memaksa Sky untuk diantar ke UKS, tapi Sky tetap menolaknya. Itu karena Sky merasa sangat bersalah karena membuat sepasang kekasih itu bermasalah. Sky sangat ingin mendamaikan mereka berdua dengan caranya, tapi Sky sadar kalau ia angkat bicara, Sean akan beranggapan lain terhadapnya. Beranggapan bahwa Sky sengaja agar orang-orang di sekitar menganggapnya baik hati meski sudah dimaki Sean. Pada akhirnya menolak ajakan Kuntum dan tidak mengajak Sean berbicara adalah jalan terakhir yang ditempuhnya.

Sky kemudian mendengar langkah di mana Sean tadinya berdiri mulai meninggalkan tempat dengan kerumunan di sini. Sepertinya Sean sangat sakit hati dengan ucapan-ucapan merendahkannya. Sky tidak begitu bodoh untuk menyadari kalau Sean lebih sakit hati lagi dengan kehadirannya yang menjadi dalang dari tawaan mereka terhadap Sean. Sky juga bisa menyadari kalau Sean semakin membenci dirinya dari waktu sebelum-sebelumnya.

⚡⚡⚡

Jam istirahat kedua, Sean langsung menuju taman sebagaimana yang Kuntum pinta dalam pesannya. Sean tergegas ke sana karena Kuntum bilang dirinya sudah menunggu. Tentu Sean akan langsung memenuhi permintaan Kuntum, selain karena Sean adalah kekasihnya, Sean juga ingin bertemu dengan seseorang yang bisa diajaknya berbicara tanpa harus berbohong seperti yang ia lakukan ketika bersama teman-temannya. Ditambah lagi dengan jarangnya pertemuan antar mereka, membuat Sean sedikit merasa bahagia. Karena biasanya mereka hanya bertemu pada jam istirahat pertama saja, tidak untuk istirahat kedua.

"Kuntum, maaf aku telat!" ujar Sean setibanya ia di sana dan mendapati Kuntum yang duduk dengan pandangan ragu.

"Kak, aku mau putus!" sambut Kuntum dengan menatap Sean tanpa mengedipkan mata.

Napasnya yang belum sempat teratur harus terpaksa Sean tahan mendengar ucapan Kuntum barusan. Sean tahu Kuntum tidak sedang mengerjainya jika dilihat dari raut wajahnya. Ditambah lagi selama ini Kuntum sangat jarang bercanda. Tawa mereka biasanya hanya diisi dengan lelucon Sean saja, tidak dengan lelucon Kuntum.

"Ngomong apa sih? 'Kan aku udah pernah bilang kalau aku enggak bakalan mau putus?!" Sean berusaha menjawab setenang mungkin.

"Iya, Kakak juga pernah bilang 'Kalau kamu yang bilang mau putus, mungkin kakak bakalan nyerah. Jadi, aku maunya sekarang kita putus." Jawaban seolah tanpa perasaan yang tidak ada lagi untuk Sean, itu sedikit mengguncang kesabaran Sean.

"Kenapa?" tanya Sean sedikit berteriak.

"Karena Kakak udah bohongin aku. Aku mau percaya sama Kakak, tapi kejadian tadi udah bisa buktiin kalau Kakak enggak sebaik yang aku liat. Kakak itu pembohong dan aku enggak mau jalin hubungan sama orang kayak Kakak!" Lagi-lagi Kuntum menjawab seolah ia memang sudah tidak lagi mempunyai perasaan berbentuk cinta terhadap Sean.

Mata Sean langsung memerah menahan amarah. "Jadi sekarang kamu juga mau jauhin aku seperti apa yang mereka-mereka lakuin? Jadi kamu juga mau nganggap aku itu salah? Iya?" Tanpa sadar, Sean mencengkram kedua bahu Kuntum dengan kuat.

Kuntum merintih bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Bukan karena sakit cengkraman Sean, tapi sakit karena ucapannya sendiri yang memutuskan hubungan mereka. "Lepasin gue, Brengsek!" teriak Kuntum ikut tersulut.

"Enggak, lo enggak boleh mutusin gue!" ujar Sean tidak kalah berteriak dengan cengkramannya yang semakin kuat.

"Sakit, Kak!" erang Kuntum dengan suara bergetar karena tangis.

Melihat tangisnya Kuntum yang semakin menjadi, Sean tersadar dengan apa yang ia lakukan itu salah. Bukannya memperbaiki keadaan, Sean justru membuatnya semakin runyam dengan menyakiti Kuntum. Perlahan Sean menurunkan tangannya dari bahu Kuntum dan mengatur napasnya yang tidak teratur. Kemudian dia berbalik badan sambil memaki dirinya sendiri. Sementara itu tangis Kuntum semakin menjadi dengan langkah Sean yang mulai beranjak.

"Kita bicara lagi nanti kalau kamu udah merasa baikan. Masalahnya enggak bakal selesai kalau kita sama-sama emosi gini!" tutup Sean tanpa menoleh sedikit pun.

Ya, Kuntum sangat menginginkan hal itu, menyelesaikan masalah dengan perasaan yang lebih baik. Tetapi, Kuntum memilih egois karena dia sudah sangat kecewa dengan perlakuan Sean. Perlakuan yang sangat bertolak belakang dengan sikap Sean yang selama ini Kuntum percaya.

"Enggak! Kita udah selesai, Kak! Setelahnya enggak akan ada lagi pertemuan sebagai pasangan, tapi hanya sebagai teman kenalan." Kuntum ikut beranjak dari sana dengan memilih arah berlawan dengan langkah yang Sean tapaki.

Bersambung...

Sea (n) Sky [End✅]Where stories live. Discover now