(14)

713 100 10
                                    

Tanpa permisi Sky memasuki kamar Sean yang tidak dikunci. Dengan tanpa rasa bersalah pula, dia duduk di atas kursi belajar Sean dan memusatkan tolehan kepalanya ke atas ranjang Sean karena Sky tahu Sean sedang tidur di sana. Sky masuk ke sini juga karena dia berpikir kalau Sean sudah tertidur di jam segini. Namun, tanpa disadarinya, sedari tadi Sean masih membuka matanya dan enggan mengeluarkan suara. Itu dilakukannya karena dia penasaran dengan tujuan Sky yang memasuki kamarnya malam-malam begini.

Sean memperkuat penasarannya dan terus mengintipi apa yang sedang Sky lakukan sekarang ini. Tampak olehnya, Sky yang mulai membuka lembaran buku miliknya dengan hati-hati. Sean tentunya curiga karena sejatinya Sky tidak akan mampu membaca apa yang ada di dalam bukunya saat ini. Kemudian, Sky tampak merabah dan juga mencium lembaran kosong di atas buku itu dan kemudian dia mendengus kecil.

"Sampai kapan dia bakalan kayak gini? Padahal udah kelas dua belas, tapi isi bukunya cuma di lembaran pertama doang," monolog Sky dengan suara pelan.

Yang tadinya Sky lakukan adalah mempertajam indera penciumannya untuk merasakan kalau buku Sean pada halaman ketiga belum tergores sedikit pun oleh bolpoin. Sky mengetahui buku itu kosong dari bau buku tersebut yang tidak tercium olehnya adanya tinta bolpoin. Pun indera perabanya tidak merasakan cekungan apa-apa pada lembaran buku tersebut, yang pastinya akan meninggalkan bekas torehan kalau sudah digores dengan tinta.

Berikutnya Sky beranjak ke arah lemari Sean dan kegiatannya itu tidak luput dari tatapan Sean yang masih terdiam. Sky tampak merabah baju seragam Sean untuk mengenali dasar kainnya, lalu Sky menurunkan baju pramuka dari gantungannya. Mengeluarkan seragam itu dari lemari, Sky pun memindahkannya ke gantungan di depan pintu kamar sana. Setelahnya Sky ke luar dari kamar Sean dan menutup pintu dengan sangat perlahan.

Kepergian Sky membuat Sean mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Baju pramuka di depan pintu menjadi sorotannya kali ini, entah kenapa Sean menjadi sedikit tersentuh dengan apa yang baru saja Sky lakukan. Besok adalah hari di mana seragam pramuka menjadi seragam wajib yang harus dipakai. Sean pikir selama ini seragamnya yang selalu tergantung di depan pintu itu adalah ulah Atika. Ternyata Sean salah dalam mengira hal itu bentuk perhatian Atika yang tidak dia perlihatkan sepenuhnya. Nyatanya Sean tetap merasa dilupa oleh Atika yang hanya bertatap muka untuk sekedar menyapa saja. Bukan, bukan itu yang sebenarnya terjadi, tapi Atika sama seperti Sean. Mereka sama-sama tidak tahu harus berbicara mulai dari mana, jika sudah saling bertatap muka.

Sean akhirnya tahu mengapa setiap hari seragamnya selalu tergantung di pintu kamarnya, sementara Sean tidak pernah melakukannya. Ternyata itu adalah ulah Sky yang diam-diam memperhatikannya dan Sean sama sekali tidak menyadarinya. Padahal Sean merasa apa yang dia lakukan selama ini sudah cukup baginyanya dan Sky untuk saling membenci. Dengan apa yang Sky lakukan sekarang, Sean menjadi tidak yakin kalau Sky itu juga membencinya seperti apa Sean membenci Sky. Apa benar Sky memang tidak membenci Sean karena Sean mungkin juga tidak membenci Sky? Luput dari itu semua, Sean memalingkan pandangan untuk menatap ke arah bukunya yang terbuka, dengan menampakkan lembaran putih bergaris-garis yang masih bersih dari tinta. sepertinya Sky lupa untuk menutupnya kembali setelah dia buka.

"Sampai kapan gue bakal kayak gini?" Pertanyaan yang hampir serupa dengan apa yang Sky ucap barusan ikut bersuara dari mulutnya.

Menarik napas lelah, Sean merebahkan kembali tubuhnya dengan mata yang tak kunjung terpejam. Sean mulai memikirkan dirinya yang selalu acuh terhadap pelajarannya, padahal dia sudah kelas dua belas dan itu bukan lagi waktu yang tepat untuknya bermain-main. Sean mulai merasakan apa yang dia lakukan selama ini hanya buang-buang waktu saja tanpa ada kata bermanfaat yang pernah dicapainya. Pantas saja Atika kecewa dengannya, itu pasti karena dia tidak ingin Sean berlarut dalam ketidakbergunaannya selama ini. Sean juga mulai paham kalau selama ini Atika memarahinya bukan karena Atika itu membencinya, tapi Atika itu mencoba mendidiknya dengan cara yang sedikit berbeda. Yaitu dengan memarahinya tanpa peduli dengan waktu yang tepat untuk menasehatinya.

Hadirnya Sky malam ini ke kamarnya membuat Sean berpikir panjang tentang dirinya. Betapa tidak bergunanya dia selama ini dan hanya mengerti tentang perihnya saja tanpa tahu apa itu perjuangan. Atika memang jarang memberinya perhatian berupa elusan kepala ataupun senyuman memberi semangat, tapi bukankah selama ini Atika tidak pernah lupa untuk mengisi rekeningnya? Atika juga tidak pernah lupa untuk membelikan keperluan Sean berupa peralatan sekolah dan juga keperluan Sean yang lainnya.

Dengan itu, Sean paham kalau selama ini memang dirinya yang salah, bukannya Atika yang sengaja melupakannya.

⚡⚡⚡

"Pagi, Ma, Pa," sapa Sean menebar senyuman di depan meja makan.

Semua orang menatapnya aneh, tidak terkecuali dengan Sky yang tidak disebutkan Sean dalam sapaannya. Maksudnya di sini, Sky bukan menatap Sean dengan matanya, tapi dengan menajamkan indera mendengarannya dan dia bisa menebak kalau Sean dalam situasi lebih ceria dari biasanya. Wajah Sean yang tersenyum hangat itu ikut membuat lengkungan kecil di bibir Atika dan juga Arsen pastinya. Sky pun begitu, meski dia tidak bisa melihat, tapi Sky tahu kalau keluarganya sekarang dalam keadaan sama-sama tersenyum bahagia.

"Gimana kerjaannya, Ma? Lancar?" tanya Sean sambil melumuri roti dengan selai yang tersedia di hadapannya.

"I--iya lancar!" jawab Atika sedikit terbata. Karena percakapan demikian, belum pernah terjadi sebelumnya.

"Skyukurlah. Kalau Papa gimana?" tanya Sean lagi beralih kepada Arsen yang duduk bersebelahan dengannya.

"Ya, baik-baik aja!" jawab Arsen santai.

Atika berdehem singkat. "Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Atika curiga dengan sikap Sean yang sedikit berubah. Meski dia senang melihatnya, tapi Atika masih belum bisa memahinya begitu saja.

"Enggak ada." acuh Sean dengan menyantap rotinya segera.

Merasa aneh dengan situasinya, mereka semua menjadi terdiam dan sama-sama terfokus pada sarapan masing-masing di atas meja. Tidak ada lagi percakapan setelahnya dan digantikan oleh hening pengisi celah. Padahal sedikit harmonis baru saja tercipta, namun mungkin ini terlalu cepat untuk Sean menerima semua yang selama ini ditolaknya. Wajahnya yang tadinya ceria, sekarang juga mulai terlihat seperti biasa. Kelihatannya tadi Sean mencoba memaksakan dirinya kalau dia sudah menerima semuanya.

Singkat saja. Sesampainya di sekolah Sean mulai memungut ujung tongkat Sky dan menuntunnya berjalan seperti apa yang selalu diminta Arsen untuk mengantar Sky ke kelasnya. Sejauh ini belum ada kata yang mengisi suara antara mereka untuk saling berbicara. Sky yang biasanya berusaha mencari kata agar bisa berbicara dengan Sean pun saat ini juga lebih memilih diam saja. Sepertinya dia lebih mengerti perasaan Sean daripada Sean itu sendiri yang selama ini hanya bisa marah-marah. Sky tahu pastinya Sean juga akan marah jika Sky tetap memaksa berbicara walau hanya sekedar sapaan saja.

"Kenapa lo lakuin ini?" Tidak seperti biasanya dan di luar pemikiran Sky, kini Sean yang lebih dulu membuka mulut untuk mereka saling bersuara.

"Apa yang gue lakuin?" tanya Sky balik, belum sepenuhnya mengerti dengan tanya Sean.

"Semalam gue liat lo datang ke kamar gue dan nyiapin baju sekolah gue. Enggak lo siapin juga gue enggak bakalan lupa esok hari apa dan harus pakai seragam apa," tutur Sean dengan nada pelan agar hanya mereka berdua saja yang mendengar pembicaraannya.

Sky sedikit terkejut dengan apa yang Sean ucap barusan. Karena Sky benar-benar tidak menyangka, bahwa Sean masih terbangun saat semalam dia memasuki kamarnya. "Gue enggak berpikir lo bakalan lupa ini hari apa dan harus berseragam apa. Gue semalam enggak bisa tidur dan enggak tau mau ngapain, jadinya cuma itu yang terlintas dipikiran gue semalam," jawab Sky yang jelas berbohongnya.

"Hanya itu yang terlintas dipikiran lo semalam atau hanya itu alasan yang terlintas dipikiran lo sekarang?!" sahut Sean dengan menghentikan langkahnya karena mereka sudah sampai depan kelas Sky, "Dengar! Jangan masuk ke kamar gue tanpa permisi lagi. Gue enggak suka," sambung Sean dan menurunkan tongkat Sky agar dia bisa pergi segera dari sana.

Sky masih memikirkan jawabannya dari penuturan Sean barusan. Masih banyak keraguan dalam pikirannya karena ini kali pertamanya Sean berbicara tanpa bersuara kasar seperti biasa. Pada akhirnya Sky membiarkan Sean pergi tanpa memberikan jawaban apa-apa. Karena memang dia tidak bisa memikirkan perkataan yang tepat untuk membalas percakapan Sean tadinya.

'Jangan masuk tanpa permisi, ya? Apa artinya gue boleh masuk kalau minta izin dulu?!' pikir Sky. Pemikirannya itu membuat bibirnya terangkat menciptakan senyuman kecil melengkung tanpa sengaja.

Bersambung...

Sea (n) Sky [End✅]Where stories live. Discover now