(16)

672 93 23
                                    

Di taman yang berbeda dari yang dia kunjungi sebelumnya, Sean menurunkan tongkat Sky dari tangannya. Sebuah bangku yang terdiam di sana langsung Sean tempati dengan menidurkan dirinya. Sementara Sky dia biarkan berdiri dan Sean juga menutup mata dengan hastanya. Tubuhnya yang lebih panjang dari kursi yang dia tiduri itu terpaksa membuat Sean harus menekuk kedua lututnya agar muat untuk dia tidur.

Tidak ada suara di sana kecuali suara dedaunan yang terjatuh dan terpaan angin saja. Padahal Sean sendiri yang membawa Sky ke sini, tapi setelahnya Sean malah mengabaikannya seolah dia hanya seorang saja di sana. Jangankan untuk mengajak Sky berbicara, menawarkannya tempat duduk saja tidak.

"Kenapa lo ngajak gue ke sini?" tanya Sky mulai penasaran dengan tujuan Sean yang tiba-tiba mengajaknya ke sana sementara dirinya hanya diam saja.

"Enggak tau!" jawab Sean tetap dengan pejamnya. Keinginan untuk mengajak Sky berbicara tertelan jua oleh rasa berbeda yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.

Sky berkerut bingung, bisa-bisanya kata seperti itu yang Sean lontarkan sebagai jawaban. Jika sekiranya tidak ada yang ingin dia bicarakan, seharusnya Sean tidak membawa Sky ke tempat hening dan mengabaikannya. Padahal Sky tadi sudah senang dengan Sean yang tiba-tiba mengunjunginya ke kelas dan juga membawanya ke luar kelas. Sky pikir Sean tadinya mengajaknya ke luar kelas untuk mempererat persaudaraan mereka, tapi nyatanya keeratan itu tidak akan tercipta dengan hanya berdiam diri saja.

"Sean, gue serius. Kalau enggak tau, ngapain ajak gue ke sini? Udahlah, antar gue ke kelas," pinta Sky dengan meraba Sean dan mengguncangnya.

Sean terganggu dengan Sky yang menggoncang tubuhnya, Sean kemudian bangun dari posisinya dan menggusar kepalanya dengan kedua tangan. Suara gerutuan kesal juga timbul dari mulutnya. Sean kemudian menatap Sky yang berdiri menjulang dihadapannya. Mata terpejam dibalik kacamata hitamnya itu bisa direkam oleh penglihatan Sean. Dilihat dari matanya, sepertinya Sky sama kesalnya dengan dirinya, juga ada semburat kecewa dibalik pejaman mata itu.

Sean merebahkan kepalanya ke sandaran bangku dan menggeleng-gelengkannya agar rambut yang tadinya dia gusar bisa sedikit teratur kembali. "Gue butuh teman!" ujar Sean pelan, berharap Sky tidak mendengarkan dengan jelas apa yang dia utarakan. Karena sejatinya Sean masih belum sepenuhnya bisa menghapus kata benci kala bertemu Sky.

Sudut mata yang tadinya berkerut karena tidak suka, kini mulai menyurut seperti biasa. Sky tahu Sean sudah mengubah posisinya, jadinya Sky mulai merabah bangku tersebut dan mendudukinya tepat di sebelah Sean. Sky pun melipat white cane-nya karena dia rasa pembicaraannya dengan Sean bisa lebih panjang dari biasanya.

"Kenapa gue? Lo punya teman-teman yang selalu bareng sama lo itu 'kan?" ucap Sky pada akhirnya.

"Ck! Lo sendiri 'kan yang bilang kalau gue butuh teman, gue bisa panggil lo? Ya udah, gue butuhnya sekarang." Sean mengubah kembali posisinya dengan meluruskan kembali kepalanya yang tadi dia rebahkan.

Tidak ingin merusak suasana, Sky menjawab seolah dia memang sudah dekat dengan Sean. "Oke, sekarang lo mau bilang apa? 'Ntar gue kasih solusi," tawar Sky seakrab mungkin.

Sean melirik ke arah Sky yang tampak betapa bahagia wajahnya saat ini. Sean tidak seperti itu, masih ada yang janggal di hatinya mengingat Sky yang telah merusak hubungan baiknya dengan Kuntum. Hanya sekilas Sean menatapnya, setelahnya Sean kembali fokus ke hadapan sana. Yang mana, hanya ada bunga-bunga dengan kuntum bunga yang masih menguncup saja.

"Gue butuh teman bukan berarti gue butuh bicara. Gue cuma butuh seseorang ada di samping gue saat ini, bukan mereka yang akan tertawa di saat gue dalam situasi sekarang ini. Gue tau lo enggak bakal ketawa, makanya lo yang gue bawa ke sini," tutur Sean seadanya.

Sea (n) Sky [End✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang