(13)

651 97 22
                                    

Sean langsung menyandang tas punggungnya saat guru baru saja meninggalkan kelasnya. Pulang segera adalah keinginannya karena cukup kecewa dengan hari-harinya. Entah itu karena apa, yang jelas dia sangat kecewa. Belum sempat Sean melangkah, dua orang yang selama ini menjadi temannya tampak membentang bersama di hadapannya dengan tas punggung yang sudah mereka gendong juga.

"Lo enggak ikut?" tanya Fadil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

"Enggak!" jawab Sean santai seakan ajakan mereka itu tidak Sean harapkan sama sekali.

"Kenapa? Karena motor lo belum dibalikin juga? Ayolah, lo bisa nebeng ama gue!" bujuk Diki.

"Iya ikut ajalah, An! Enggak asyik kalau lo enggak ada," sambung Fadil lagi.

"Kenapa?" Kini Sean yang bertanya.

Fadil dan Diki saling bertatapan mencoba mengartikan bersama-sama maksud dari pertanyaan Sean barusan. Ada yang aneh dari sikapnya karena tidak biasanya Sean menolak akan ajakan dari mereka. Ditambah lagi dengan pertanyaan ambigu Sean yang membuat otak Fadil dan Diki harus berpikir.

"Kenapa apanya?" Tidak menemukan jawaban yang tepat, akhirnya Diki menyahut dengan kembali bertanya.

"Kenapa enggak asyik kalau enggak ada gue? Karena yang berperan besar di sini uang gue? Kalau enggak ada gue, berarti enggak ada uang yang bisa kalian makan, gitu?" timpa Sean dengan angkuhnya.

"Haha, apaan sih, An? Kalau enggak ada lo, teman kita berkurang lah! Ada-ada aja lo!" jawab Fadil dengan menepuk pelan bahu Sean merasa geli dengan ucapannya.

Tangan kanan Sean yang semula berada di dalam saku celana depan, kini dikeluarkannya dan kemudian dia pindahkan ke saku belakangnya. Mengeluarkan dompet dari dalam sana, Sean membukanya segera dan mengeluarkan beberapa lembar uang yang bergambarkan presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Sean kemudian menjatuhkannya di atas meja dan pergi begitu saja.

"Woi, An! Ini maksudnya apa?" tanya Fadil bingung begitu juga Diki pastinya.

"Buat kalian jajan nanti!" jawab Sean dengan nada seperti biasanya.

"Beneran? Lo enggak becanda 'kan?" tanya Fadil antusias. Raut wajah senang terpancar di keduanya dan mulai mengambil uang yang berada di atas meja itu untuk mereka simpan.

"Yoi. Mulai sekarang gue enggak butuh teman." Langkah Sean semakin menjauh dengan jawaban angkuh yang dia lontarkan.

Fadil dan Diki sama-sama berkerut dengan ucapan Sean barusan. Entah hanya perasaan mereka saja atau memang benar kalau Sean hari ini berbeda dari hari-hari belakangan. Padahal dulunya Sean sendiri yang membujuk mereka berdua agar mau berteman dengannya dan sekarang dengan entengnya dia bilang kalau dia tidak butuh teman? Untuk menghilangkan rasa bingungnya, Fadil dan Diki kemudian bergegas keluar kelas agar pembicaraan mereka dengan Sean tidak terputus sampai di sana saja.

"An, maksud lo apaan sih, ngomong gitu? Lo enggak mau lagi temenan ama kita?" teriak Diki dengan nada kesal yang mengiringi tanyanya.

"Sejak kapan kalian nganggap gue teman? Bukannya kalian nyari gue saat butuh doang? Bukannya kalian cuma temenan sama uang gue doang? Sadar diri kek, Brengsek!" Kali ini Sean berbalik menatap dua orang yang mengejar langkahnya itu agar bisa menguapkan segalanya kepada orangnya langsung.

Keduanya terdiam dengan mata melotot tajam. Sepertinya mereka tidak dapat menjawab ucapan Sean karena sudah yakin mereka akan kalah jika terus memaksakan memberi jawaban. Tidak hanya diam karena bingung dengan jawabannya saja, tapi Fadil dan Diki juga terdiam karena ucapan Sean merupakam kebenaran. Selama ini mereka memang merasa memanfaatkannya saja dan butuh uang Sean saja. Berjawab tanya dengan perbuatan buruk yang diketahui Sean dari mereka, ternyata menjadi sulit hanya untuk menyalahkan ucapannya saja.

"Benar 'kan apa yang gue bilang?" tukas Sean dengan menarik kedua kelopak baju Fadil dan Diki bersamaan, "Gue enggak butuh teman kayak kalian!" imbuh Sean dengan mendorong keduanya bersamaan pula.

Setelahnya Sean benar-benar pergi tanpa peduli lagi dengan dua orang itu yang sepertinya tidak terima dengan tuduhan Sean yang benar adanya itu. Mereka berteriak pun Sean tidak akan menghiraukannya karena Sean sangat ingin segera sampai di rumahnya. Agar dia bisa beristirahat segera dan supaya hari beratnya terselesaikan untuk saat ini juga.

Sementara itu, Sky terdiam sejenak di depan kelasnya saat pikirannya tiba-tiba mengacau dengan menuduh yang tidak-tidak mengenai Sean. Sky memang tidak terlalu memikirkan bisikan orang yang tadi mengganggunya. Karena Sky tahu tidak akan mungkin orang itu akan membunuhnya seperti apa yang dia inginkan. Bukan tanpa alasan berpikir begitu saja, tapi mengingat pembunuhan bukan hal yang akan mudah dilakukan tanpa adanya hukum balasan. Tentu tidak akan mungkin seseorang yang membencinya mengharapkan kematiannya dengan berbicara begitu mudah. Ditambah lagi dengan mereka yang membawa Sky ke belakang sekolah, itu artinya mereka tidak akan mungkin membunuh di tempat terbuka seperti itu. Jadi, kesimpulannya, kata-kata tersebut hanya sebuah ajang untuk menakut-nakuti Sky saja.

Ujung tongkatnya yang menyentuh lantai terasa mengambang yang membuat Sky sedikit kaget. Suara langkah mulai terdengar olehnya menuntunnya meninggalkan kelasnya. Memangnya sudah sejauh apa Sky melamun sehingga dia tidak menyadari langkah kaki seseorang yang mendekatinya? Sepertinya hal sepeleh itu mengganggu pikirannya hingga pendengarannya tidak terpusat dengan baik untuk menyadari kehadiran seseorang.

"Sean? Tumben lo datang ke kelas gue?!" ujar Sky mulai melangkah mengikuti ke arah mana ujung tongkatnya ditarik.

"Gue mau pulang cepat! Ini semua tuh, gara-gara lo tau enggak? Kalau aja lo enggak bikin masalah, gue pasti diizinin bawa motor gue. Lo enggak lebih dari sekedar beban buat gue," jawab Sean dengan nada ketus.

Sky bisa langsung menyadari itu adalah Sean dari caranya membantu Sky dalam menuntun jalan. Tidak ada orang lain yang akan melakukan hal serupa Sean yang menuntunnya dengan memegangi ujung tongkat putihnya. Bukannya senang dengan kehadiran Sean, Sky malah lebih berpikir jauh lagi tentang masalahnya. Karena tidak biasanya Sean datang ke kelasnya hanya untuk bersegera pulang saja. Ada yang aneh dengan sikap Sean yang sekarang ini terkesan baik kepadanya.

"Emangnya lo benci banget ya, sama gue? Kenapa ngejawabnya ketus gitu, hah?" kesal Sky dengan jawaban Sean. Tidak hanya kesal dengan perbuatan Sean, dia juga kesal dengan pikiran bodohnya.

"Mau gue patahin tongkat lo?" ancam Sean dengan pertanyaan konyol Sky yang sudah pasti jawabannya kalau Sean benar-benar membenci Sky, "Atau mau gue patahin tulang lo sekalian?" tanya Sean lagi untuk menjelaskan kalau dia tidak berpura-pura dalam membenci Sky.

Sky meremas tongkatnya dan sedikit menyentakkannya hingga terlepas dari tangan Sean. "Gue bisa jalan sendiri," ucap Sky dengan nada tidak kalah kasarnya dari ucapan Sean barusan.

Dengan apa yang Sky perbuat barusan, Sean tergelak pelan. "Gue tau lo buta arah kalau sampai tongkat lo enggak nyentuh tanah. Sekarang lo pasti enggak kenal posisi lo sekarang ada di mana 'kan? Jadi enggak usah sok bisa sendiri kalau lo masih butuh bantuan." Sean meraih kembali ujung tongkat Sky dan kembali menuntunnya berjalan.

Sky kembali meremas kuat tongkatnya itu dan terus melanjutkan langkahnya mengikuti langkah Sean. Tebakan Sean benar kalau dia buta arah dengan tongkat yang dari semula tidak menyentuh tanah. Untuk sekarang dia tidak bisa membantah ucapan Sean yang bersedia menjadi pemandu jalannya. Dia kesal dengan ucapan Sean, tapi dia juga berpikir ini adalah langkah untuk hubungannya dengan Sean menuju yang lebih baik lagi kedepannya. Sky berusaha membuang segala pikiran buruknya tentang Sean yang menginginkannya mati itu. Jika Sky terus bersikeras melawan ucapan Sean, bukannya hubungan yang membaik, yang ada malah keretakan yang semakin parah yang akan terjadi.

"Jangan pikir gue mau jadi penuntun jalan lo karena gue perhatian sama lo, ya! Gue cuma enggak mau papa berpikir buruk tentang gue," ujar Sean memperingati. Jika tidak bisa menjadi anak yang Atika harapkan, maka Sean mulai berpikir untuk menjadi apa yang Arsen harapkan. Yang tidak bisa Arsen dapatkan dari Sky yang mempunyai keterbatasan.

Bersambung...

Sea (n) Sky [End✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang