Investor

3.7K 470 67
                                    

Suara kursi yang ditarik membuat Binar menghentikan kegiatan mengetiknya.

Menaikkan pandangan, dia melihat Lintang yang mengenakan setelan jas duduk di hadapannya. Lintang menatap tumpukan nota di sekitar laptop Binar. "Lagi bikin expense report?"

Binar mengangguk dan menutup hasil kerjanya. "Sebenernya aku lebih suka bikin laporan waktu pagi. Tapi karena sekarang lagi nggak ada kerjaan, ya udah bikin sekarang aja." Dia mengernyit menatap Lintang. "Kamu belum makan?"

"Udah. Aku ke sini karena pengin ketemu kamu."

Binar menoleh ke meja kasir. "Rista, tolong minta anak dapur bawakan segelas susu hangat, ya?"

"Oke, Mbak Bi," sahut Rista yang lantas segera memberitahu pegawai di dapur.

Binar beralih ke Lintang, kemudian bersidekap. "Aku masih inget lho, terakhir kali kita ketemu kamu bikin aku jengkel."

Lintang tersenyum. "Berarti, harusnya tadi kamu minta pegawaimu bawakan air putih, bukan segelas susu hangat."

Binar melotot tidak terima. "Aku bukan orang pendendam kayak kamu, ya."

Sontak, Lintang tertawa seraya mengangkat kedua tangan. "I lose."

Pegawai Binar datang membawakan segelas susu hangat untuk Lintang. Selepas dia pergi, Binar beralih ke Lintang kembali. "Kamu tahu rumah makan di ujung jalan? Pemiliknya ikut-ikutan jualan angsle sama ronde." Kepalanya menggeleng-geleng. "Yah, aku udah menduga hal semacam itu pasti bakal terjadi setelah aku buka bisnis, tapi tetep aja bikin jengkel."

Lintang menggenggam sebelah tangan Binar yang tergeletak di atas meja, mengusapnya lembut. Binar bergeming. Kejengkelannya yang sejak sore tadi mendekam kini digantikan dengan perasaan nyaman. Dan dia menjadi kecewa luar biasa saat Lintang melepaskan genggaman tangannya. Kenapa sentuhan tangan pria itu selalu memberi efek yang besar untuknya seperti saat ini?

Lintang menyeruput susu hangat dalam gelasnya sejenak. "Kamu pernah coba pakai jasa influencer buat mempromosikan Dilaris?"

Binar mengernyit. "Belum."

"Pakai jasa influencer bisa efektif kalo meriset dulu influencer yang mau diajak kerja sama."

Binar menatap Lintang. Baru kini dia paham kenapa pria itu mendadak mengalihkan topik. Lintang ingin dirinya fokus melihat ke depan, bukan hanya terus-menerus memikirkan rumah makan di ujung jalan yang ikut menjual angsle dan ronde.

Binar menyandarkan punggung pada pada badan kursi. "Tapi, tarif influencer pasti mahal-mahal. Karena income bisnisku masih naik-turun, aku mesti menghemat pengeluaran."

"Pilih influencer mikro. Influencer mikro biasanya pasang tarif nggak terlalu mahal. Dan walau punya followers sedikit, influencer mikro punya engagement yang kuat dengan followers-nya."

Binar mengetuk-ngetukkan pulpennya pada meja. Dia menyadari ucapan Lintang ada benarnya. Sepertinya memang tidak masalah untuk dicoba.

"Aku bisa kasih suntikan dana."

Ucapan Lintang tersebut membuat Binar kaget. Binar memandang Lintang dengan mata melebar. "Maksudnya kamu mau berinvestasi di sini?"

Lintang mengangguk. "Ya."

Binar menyipitkan mata. "Ini bukan tindakan impulsif, kan?"

Lintang melengkungkan senyum. "Bukan. Aku udah mempertimbangkannya dengan matang. Kamu nggak perlu khawatir."

Binar terdiam dan menyahut di detik lain, "Oke. Besok aku coba cari influencer mikro yang cocok. Menurutmu youtuber, blogger, atau selebgram yang cocok?"

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang