Cincin di Jari Manis

15.6K 1.7K 27
                                    

Binar mewanti-wanti dirinya agar tidak berbicara sembarangan tentang Lintang di kantor lagi.

Kemarin malam, Binar dimarahi dan diancam akan diberi SP satu. Gentong Tanah Liat itu benar-benar berubah menjadi iblis bertanduk merah. Paling tidak Binar aman saat ini karena dia hanya mengatai Lintang di dalam hati.

Namun, lidahnya terasa gatal ingin menjelek-jelekkan nama Lintang di depan gedung kantornya sambil membawa toa mushola dan spanduk. Tak lupa dia akan mengajak pegawai-pegawai lain untuk berada di pihaknya membenci Lintang. Setelahnya, dengan bersama-sama mereka akan menyusun rencana untuk menggulingkan pria itu dari jabatannya. Binar pun bahagia dan hidupnya menjadi tentram seperti sedia kala. Mata Binar memejam. Udara dia hirup untuk mengisi paru-parunya.

Andai saja realita seindah ekspektasi.

Lintang yang mengenakan setelan jas biru dongker slim fit, melenggang melewati mejanya dengan menenteng tas kerja. Wangi parfumnya yang maskulin dicium hidung Binar, bahkan sebelum pria itu terlihat. Binar diam saja. Biasanya, dia akan mengucapkan selamat pagi dengan nada ceria pada bosnya terdahulu. Namun, terasa enggan kalau dengan Lintang. Lagi pula, berani jamin pria itu pasti tidak akan membalas ucapan selamat paginya.

Lintang yang hendak membuka pintu ruangannya, menoleh dan menatap Binar. "Kamu nggak mau ngucapin "selamat pagi" ke saya?"

Ingin sekali Binar menjawab "males banget!". Namun, dia masih sayang pada pekerjaannya---gajinya lebih tepatnya. Dia pun memilih tersenyum lebar dan menuruti keinginan Lintang. "Selamat pagi, Pak. Semoga hari Bapak menyenangkan," serunya ceria, dibuat-buat.

"Hm," balas Lintang singkat, lalu masuk ke ruangannya.

Binar praktis meremas-remas kertas yang ada di atas meja dan hendak melemparnya ke pintu ruangan Lintang dengan gemas. Namun, gerakannya kontan terhenti tatkala pintu ruangan pria itu kembali terbuka. Menampakkan Lintang yang berdiri di ambang pintu. Binar yang matanya melotot dan sebelah tangannya masih terangkat ke atas memegang remasan kertas, ditatap Lintang dengan mengernyit.

"Mau ngapain kamu?"

Binar meringis, lalu tersenyum hiperbolis. Sengaja digerakannya kedua tangannya ke atas dan ke samping. "Pemanasan Pak. Sebelum menjalani rutinintas kerja saya biasa pemanasan dulu, biar nggak kram. Bapak juga pemanasan, dong." Dia giliran menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Namun, gerakannya itu pasti terlihat jenaka. "Satu, dua, satu, dua."

"Bapak sendiri mau ngapain kok, keluar ruangan lagi?" tanyanya, masih belum menghentikan gerakan kepala.

Lintang memasukkan kedua tangan ke saku celana bahannya. "Jadwalkan pertemuan dengan pemilik tanah yang belum mau menyerahkan tanahnya itu."

Binar langsung menegakkan badan dan mengangguk. "Siap, Pak. Nanti saya aturkan jadwal bertemu dengan Pak Supratno."

"Saya nggak mau nanti. Sekarang," ucap Lintang dengan ekspresi datar. Sedatar jalan tol.

Sekarang bahkan belum ada pukul sembilan pagi yang menjadi jam masuk kantor! Binar memaksakan senyumnya keluar. Memilih bersabar. "Iya, Pak. Sekarang."

Melihat tubuh Lintang hilang ditelan pintu ruang kerjanya, Binar langsung menyumpah serapahi pria itu di dalam hati. Tidak ingin ambil risiko ketahuan untuk yang kedua kali.

-oOo-

"Kalau belum buat janji, Pak Lintang pasti nggak bakal mau nemui, Ray. Ntar aku disenggrang lagi. Orangnya kamu minta telepon Pak Lintang dulu aja."

"Orangnya udah coba telepon Pak Lintang, Bi. Tapi katanya, nggak diangkat-angkat."

Gerakan tangan Binar yang sibuk mengetik draf memo meeting untuk Divisi Keuangan kemudian terhenti. Menghela napas, dia mengambil gagang telepon yang dijepit di pundak dan telinga kanan, lalu memindahkannya ke telinga yang sebelah kiri. Dia pun menanggapi ucapan Raya, resepsionis kantor, di seberang sana, "Siapa namanya?"

"Anindya Ayu."

"Oke, aku coba tanya Pak Lintang."

Sambungan telepon dia putus. Binar beranjak dari tempat duduknya. Membuka pintu ruangan Lintang setelah mengetuknya dua kali.

"Pak ada yang mau ketemu sama Bapak, tapi dia belum buat janji."

Beralih dari laptop di depannya, Lintang memandang Binar. "Kamu pikun? Saya kan, udah bilang kalo ada orang yang mau ketemu saya tapi belum buat janji, tolak aja."

Binar menahan tangannya agar tidak melayangkan tinju ke wajah pria itu. Dikatai pikun di usia dua puluh tujuh tahun, siapa yang terima? "Tapi, dia bilang kenal sama Bapak. Dan saat coba hubungi Bapak, katanya nggak bisa."

"Siapa?"

"Anindya Ayu."

Lintang terdiam. Dia lantas berucap, "Minta dia ke sini."

Entah siapa tamunya itu hingga membuat Lintang langsung memperbolehkan masuk ke ruangannya, Binar pun mengangguk. "Oke, Pak."

Sapaan seseorang dengan intonasi rendah dan lembut membuat Binar yang semula bertekur pada layar komputernya, menoleh. Seorang wanita berparas cantik berdiri di dekat mejanya. Kulitnya kuning langsat. Rambut panjang hitam lurusnya yang dibiarkan tergerai, sebagian dijepit ke belakang. Wanita yang terlihat seumuran dengan Binar itu, menjinjing goody bag bergambar bunga tulip yang entah isinya apa.

Binar menyapa balik dan bertanya dengan ramah, "Yang mau ketemu Pak Lintang, ya?"

Wanita itu mengangguk pelan dan tersenyum. "Iya."

Binar berdiri dan menghampiri wanita itu. "Ayo, saya antar sampai dalam."

-oOo-

"Eh, cewek yang masuk ke ruangan Pak Lintang sama kamu tadi, siapa?" tanya Monita pada Binar, setelah menyeruput jus alpukatnya.

Binar yang masih mengunyah nasi kuningnya di meja kantin kantor di dekat jendela kaca besar, hanya mengedikkan bahu. Dia tak tahu. Sungguh.

"Kalau menurutku sih, cewek yang tadi itu tunangannya Pak Lintang," sahut Raya yang duduk di sebelah Binar.

Binar memelototkan matanya, tak percaya. "Hah? Cewek tadi itu tunangannya si gentong?" Suaranya yang bagai petir berskala tinggi, sampai membuat beberapa karyawan yang berada di sekitar menoleh padanya.

Mata Binar memejam dan dia meringis. Bukan karena malu menjadi bahan perhatian sebagian orang, melainkan dia sadar bahwa dia sudah salah bicara di depan teman-teman dekatnya itu.

"Si gentong?" tanya Monita, mengernyit. Raya memandangnya dengan mengernyit juga.

Binar tertawa, salah tingkah. "Si ganteng maksudnya. Iya, si ganteng. Tadi lidahku cuma keseleo aja guys."

Monita dan Raya kontan membulatkan mulut bersamaan. Raya mencondongkan badan ke depan. "Tadi itu aku lihat ada cincin di jari manisnya Mbak Anindya yang sebelah kiri. Berarti kan dia udah tunangan."

Monita mendecakkan lidah. "Tapi bukan berarti tunangannya itu Pak Lintang, Ray. Bisa aja cewek tadi itu cuma adiknya doang."

Raya mengusap tengkuk sembari menyengir. "Iya juga, sih."

Binar terdiam. Ucapan Raya sepertinya memang benar. Wanita yang tadi datang menemui Lintang adalah tunangan pria itu. Karena Binar pernah melihat ada cincin di jari manis Lintang yang sebelah kiri juga. Kalau hal itu memang benar adanya, Binar jadi heran. Bagaimana bisa wanita sekalem Anindya Ayu mau menjadi tunangan Lintang yang mulutnya setajam goloknya tukang jagal itu.

***

Tunangannya apa bukan hayooh XD

Surabaya, 22/11/18

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang