Habis Kesabaran

14K 1.6K 54
                                    

Merasa lapar setelah mencari buku untuk dihadiahkan ke temannya, Binar ingin mampir ke restoran cepat saji di pinggir jalan.

Sekarang pukul sembilan malam. Berhubung jarak menuju restoran cepat saji itu dekat, dia memilih memarkir mobilnya di parkiran toko buku dan berjalan kaki. Menyusuri trotoar jalan yang lumayan sepi itu, dia mendadak mendengar suara keributan di seberang jalan.

Binar menoleh dan dia seketika terperanjat mendapati seorang preman tengah memiting leher seorang wanita di dekat toko buah. Sebelah tangannya menodongkan pisau ke leher wanita itu. Orang-orang di sekitar mereka berteriak ketakutan. Namun, tak ada yang berani mendekat. Pasti karena sudah diancam oleh preman itu. Si preman berjalan mundur bersama sanderanya. Beberapa langkah lagi dirinya dan wanita itu tiba di belokan jalan. Jelas ingin kabur.

Binar segera menyebrang jalan. Dia melepas stiletto dan meletakannya ke sembarang tempat. Berjalan perlahan dari arah belakang preman itu, dia pun menelikung tangan si preman hingga dia menjatuhkan pisaunya. Binar pun melayangkan tinju ke wajah preman itu, membuat yang lainnya memekik dan si preman mengaduh.

Preman itu lantas dikeroyok massa. Setelah digiring dan diamankan, Binar memutar badan ke arah wanita yang menjadi korban preman tadi. Ingin melihat bagaimana keadaannya. Begitu mereka bertemu muka, mata Binar sontak melebar.

"Anindya Ayu?"

-oOo-

"Makasih udah mau ngobatin lukaku."

Ucapan yang terdengar tulus terlontar dari bibir Anin, membuat Binar tersenyum. "Iya, Anin. Sama-sama. Lain kali hati-hati ya, kalo mau nolongin orang yang lagi dipalak sama preman. Jangan sampe kejadian kayak tadi terulang lagi."

Tadi saat mengobatinya, Binar diminta wanita bernama Anindya Ayu itu agar memanggilnya Anin saja. Katanya, orang-orang di sekitarnya lebih sering memanggilnnya begitu. Termasuk Lintang yang ternyata memang benar tunangan Anin.

Anin menyimpul senyumnya. "Iya."

Suara deru mobil lantas terdengar berhenti beberapa meter di depan mereka. Seorang pria muda berstelan jas hitam dengan tubuh tinggi dan tegap, turun dari mobil tersebut. Dia kemudian berlari menghampiri Binar dan Anin yang duduk di salah satu bangku taman, bertemankan sinar lampu temaram.

Pria itu berjongkok di depan Anin. Pandangannya tertuju pada luka di leher wanita itu yang tertutup perban. "Kamu terluka," ucapnya, terdengar khawatir.

"Aku nggak apa, Ga," sahut Anin, tersenyum. Seolah sadar kepala Binar dipenuhi tanda tanya besar tentang siapa pria ini, dia menoleh pada Binar di sebelahnya. Kemudian, menepuk pundak pria di depannya pelan. "Binar, kenalin ini Arga. Dia ini pengawal pribadiku."

Binar membulatkan mulut sambil mengangguk-anggukan kepala.

Anin beralih ke pria bernama Arga itu. "Ini Binar, Ga. Dia ini yang udah nolong aku, sekaligus yang udah ngobatin lukaku."

Tangan diulurkan Binar ke arah Arga. Begitulah yang sering dilakukannya saat bertemu orang baru. Dia yang akan mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk berkenalan. "Aku Binar. Salam kenal."

Mata hitam Arga menatap tajam dirinya selama beberapa detik. Tidak membalas uluran tangan Binar, pria itu memperkenalkan diri, "Arga."

Setelahnya, pria itu langsung beralih ke Anin kembali. Binar otomatis menarik tangannya, menaikkan satu sudut bibirnya ke atas. Merasa sedikit jengkel. Mengapa akhir-akhir ini dia bertemu dengan pria-pria yang kurang waras kejiwaannya?

Arga melepas jas hitamnya, lalu menyampirkannya ke pundak Anin. "Kita pulang sekarang, ya?"

Anin menanggapi ajakan Arga dengan anggukan kepala dan senyum simpul. Dia menoleh ke Binar sambil berdiri. "Binar kita pulang dulu." Digenggamnya kedua tangan Binar dengan hangat. "Sekali lagi makasih atas semua bantuan kamu," tuturnya, tersenyum lembut.

Binar mengangguk. Dia ikut tersenyum. "Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan."

Baru beberapa langkah, wanita itu memutar badan ke Binar. "Oh, iya Binar. Aku boleh minta nomer kamu? Aku ingin kita bisa bertemu dan ngobrol bareng lagi. Aku ingin kita bisa berteman."

-oOo-

Binar menahan agar air matanya tidak meluncur keluar dan membasahi pipinya saat dia sedang merekap berkas-berkas kantor. Perasaannya campur aduk saat ini. Dia sedih dan marah dalam waktu bersamaan.

Satu hari ini, kelakuan Lintang sudah seperti wanita yang sedang PMS. Pria itu semakin sering marah-marah tidak jelas padanya. Bila hari-hari sebelumnya, hasil perkerjaan Binar dilempar ke atas meja, hari ini hasil pekerjaan wanita itu dibuang ke tempat sampah. Iya! Ke tempat sampah! Belum lagi ditambah dengan kata-kata Lintang yang menusuk hati. Sepanjang bekerja di sini, baru kali ini dia diperlakukan seperti itu.

Interkom di sebelahnya mendadak berbunyi. Menoleh, Binar menatap sengit interkom tersebut. Lintang lagi. Dia pun sengaja menjawab pada dering kesepuluh. Masa bodoh dia dimarahi lagi gara-gara lama mengangkat panggilan teleponnya. Binar sudah lelah menghadapinya di jam sembilan malam ini.

"Kenapa lama angkat telepon? Udah bosan kerja di sini?" Suara Lintang langsung terdengar begitu menyebalkan di telinga Binar.

"Saya tadi masih merekap berkas-berkas kantor, Pak."

"Buatin saya kopi sekarang. Jangan kemanisan," perintah pria itu, kemudian menutup sambungan telepon.

Menahan geram, Binar mengepalkan kedua tangan membentuk tinju di udara. Tak urung, dia melenggang ke pantry demi membuat kopi untuk pria yang ubun-ubunnya minta dicium Dementor itu.

Binar masuk ke dalam ruangan Lintang. Meletakkan gelas kopi di atas meja kerja pria itu. Tanpa membuka suara dan tanpa mengarahkan pandangan ke Lintang, dia pun membalik badan hendak keluar dari ruangan bersuhu rendah tersebut. Namun, hampir menyentuh kenop pintu suara pria itu terdengar.

"Binar, kalo saya ngomong itu dengerin pakai telinga, jangan pakai dengkul. Kopi buatanmu kemanisan!"

Kemanisan katanya? Binar hanya membubuhkan satu sendok teh gula ke kopi itu! Makhluk kurang asupan bunga tujuh rupa itu, berarti memang sengaja ingin membuat pasokan kesabaran Binar yang hanya tersisa lima persen, menyusut habis sekarang.

Binar memutar badan dengan cepat. "Kenapa sih, Bapak marah-marah terus sama saya?" Dia siap mengibarkan bendera perang. Matanya membara dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya. Peduli setan jika setelah ini dia didepak keluar dari perusahaan ini. "Bapak itu udah nggak adil tau nggak sama saya! Sama karyawan lain aja Bapak baik, tapi sama saya jahatnya minta ampun! Bapak dendam gara-gara saya dulu pernah nolak pernyataan cintanya Bapak?"

Lintang mengerjapkan matanya, terlihat kaget. Mulutnya membuka, lalu menutup. Namun, tak ada satu kata pun yang terlontar dari mulutnya tersebut.

***

Hayolohhh Lintang, Binar marah XD Ketahuan deh, dulu pernah ditolak Binar wkwkwk

Let's meet Binar Azzora ^^

Let's meet Binar Azzora ^^

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Surabaya, 29/11/18

PerceptionDonde viven las historias. Descúbrelo ahora