Berteman Malam

11.7K 1K 61
                                    

Hari Selasa adalah hari di mana rumah makan Binar waktunya libur.

Kendati ada rasa ambisi di dirinya untuk memajukan bisnis, tapi Binar tidak ingin menjadi seperti robot yang bekerja terus menerus. Robot punya stamina tidak terbatas, sementara Binar hanya punya stamina terbatas yang bila dipakai berlebihan tentu akan membahayakan dirinya sendiri. Jadi, dia butuh satu hari libur. Selama rasa seluruh masakannya bisa diterima dengan baik oleh lidah orang-orang, dia yakin satu hari libur tidak akan menghambat jalan kesuksesan Dilaris, rumah makannya.

Binar menyesap teh hijau di dalam cangkir. Bersamaan dengan itu, Hana masuk ke dapur sembari menenteng hanbag dan jaket, bersiap pergi kerja.

Mengingat belum memberitahu Hana kalau dia akan dibantu Arga membuat ronde, Binar menceletuk, "Nanti aku dibantu Arga."

Hana menarik kursi di hadapannya dan mengambil selembar roti tawar di meja. Namun, matanya memandang Binar dengan dahi mengernyit. "Arga bodyguard-nya Anin itu?"

Binar mengangguk, membenarkan.

"Terus yang jaga Anin siapa?"

"Temennya Arga yang juga bodyguard keluarga Anin. Arga udah pesen ke temennya itu kemarin-kemarin."

"Dia kok, baik banget sama kamu. Sampe rela ngalihin tugasnya ke orang lain buat jaga Anin. Jangan-jangan dia suka lagi sama kamu, Bi."

Mata Binar melotot. "Arga? Suka sama aku?" Dia menggeleng. "Nggak mungkin. Arga itu sukanya sama Anin. Dulu waktu kita ada di outlet nemenin Anin beli dasi buat Lintang, Arga kelihatan banget kalo dia cemburu. Itu berarti dia kan sukanya sama Anin."

"Itu kan, dulu. Siapa tahu perasaannya sekarang udah berubah."

Binar hanya bergeming. Sementara Hana, lalu mencondongkan badan dan melipat kedua tangannya dibatas meja makan. "Perasaanmu sendiri gimana ke Arga?"

Binar menaikkan bahu. "Aku masih belum tahu."

-oOo-

Anin meletakkan garpu di atas piring rainbow cake-nya sembari menatap dua pria yang duduk di depannya. "Kalian kayak lagi nggak akur. Dari tadi nggak banyak bicara."

Senyum Arga segera terulas. "Itu hanya perasaanmu. Kita baik-baik saja," ditepuknya pundak Lintang di sebelahnya, "ya kan, Lintang?"

Lintang hanya memberi sedikit senyum untuk menanggapi ucapan barusan. Itu pun segera dia lenyapkan dengan meneguk secangkir latte.

Kepala Anin mengangguk. Seperti teringat sesuatu, dia kemudian bertanya pada Arga, "Oh, iya. Gimana tadi sama Binar? Lancar bikin rondenya?"

Gerakan tangan Lintang yang hendak menyeruput latte untuk kedua kali, terhenti. Tak acuh dengan respons keget sahabatnya tersebut, Arga menjawab dengan santai, "Lancar. Dan menyenangkan. Ronde buatan Binar jadinya enak."

"Aku jadi ingin nyoba. Nanti, kalo Binar udah mulai jual rondenya, kamu ajak aku ke rumah makannya dia, ya?"

Arga mengangguk. Perhatian Anin berpindah ke Lintang. Bisa menebak apa yang akan dikatakan wanita itu, Arga mendahului dengan menarik sudut-sudut bibir ke atas, "Lintang kan, nggak suka ronde. Kita berdua saja yang ke sana."

-oOo-

Sepanjang mengemudikan mobil menuju ke rumahnya, Lintang fokus pada jalanan di depan yang lumayan ramai di jam sembilan malam. Matanya memicing begitu melihat Binar tengah menuntun motor di seberang jalan seorang diri.

Segera Lintang memutar balikkan mobilnya dan berhenti tepat di depan motor matik Binar. Turun dari mobil, dia menghampiri wanita itu yang membulatkan mata terkejut mendapatinya ada di sini.

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang