Baru Sekarang

11.5K 1.2K 10
                                    

Binar mencoba menstarter mobilnya, tapi tidak menyala.

Dicobanya kembali sampai empat kali dan tetap tidak menyala. Seingatnya, baru beberapa hari kemarin mobilnya masuk bengkel. Masa sekarang harus masuk bengkel lagi? Tak jadi masalah seandainya sekarang bukanlah malam dan dia tidak lelah.

Binar pun keluar dari mobil, lalu membuka kapnya. Menengok mesin sambil cemberut seakan tahu menahu tentang mesin mobil, dia mengeluarkan ponsel hendak menghubungi bengkel. Namun, gerakannya sontak terhenti tatkala melihat Arga yang membawa kotak kecil merah menghampirinya.

"Jangan telepon bengkel dulu. Coba aku benerin," ucap Arga membuat Binar spontan melongo. Tapi tak urung, dia mengangguk.

Keduanya bertukar posisi. Arga mulai menengok mesin mobil Binar. Sedangkan Binar, mengamati pria itu dalam diam. Arga yang sudah macho, terlihat semakin macho saat sedang berteman dengan mesin mobil seperti ini. Kendati begitu, Binar tidak terpikat. Arga bukanlah tipenya.

Selang beberapa menit, Arga menegakkan badan dan menghadap Binar. "Boleh masuk ke mobil? Kayaknya soket kunci kontakmu yang bermasalah."

Kembali, Binar mengangguk-angguk serupa boneka dasbor. Dilihatnya kemudian Arga masuk ke mobilnya. Binar memilih menunggu di luar. Tak lama kemudian, Arga mencoba menstarter mobil. Dan mobilnya itu benar-benar bisa menyala. Binar tak kuasa menahan senyum senang.

Begitu Arga keluar dari mobilnya, Binar berucap, "Thank you, Ga. Aku udah ngira mobilku bakal berakhir di bengkel lagi malem ini."

Arga mengangguk dengan ekspresi datarnya yang sudah dihapal Binar. "Aku balik dulu."

Ketika Arga memutar badan akan beranjak, Binar berucap, "Kapan-kapan aku traktir makan. Hitung-hitung sebagai balas jasa."

Arga menatap matanya. "Nggak perlu."

Binar mencebikkan bibir ke bawah. "Kalo kayak gini, aku jadi yang ngerasa nggak enak."

Arga terdiam beberapa detik. Dia lantas menyahut, "Oke."

-oOo-

Lintang menyendok nasi kuning dan kering tempe di dalam kotak bekal yang dibawakan Binar, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Begitu rasa gurih, asin, dan manis menyentuh lidahnya, dia tertegun. Rasa masakan Binar benar-benar mirip dengan rasa masakan mendiang mamanya yang selalu menjadi favoritnya. Mamanya juga menjadikan rasa nasi kuning agak hambar. Katanya, agar rasa dari lauk pauknya tidak tenggelam oleh rasa nasi kuning.

Namun, Lintang diam saja, tak memberitahukan hal itu pada Binar yang duduk manis di sebelahnya.

"Gimana?" tanya Binar antusias tepat setelah Lintang menelan kunyahannya.

Lintang menjawab jujur, "Enak."

"Jadi?"

"Apanya?"

Binar melipat tangan di dada dengan cemberut lucu. "Nggak usah pura-pura nggak tahu."

Lintang tertawa sejenak. "Oke, kalo lagi pengin makan masakan Jawa, aku bakal bilang ke kamu satu hari sebelumnya. Tinggal bilang berapa harganya, nanti aku bayar."

Senyum Binar seketika merekah lebar. Dia bertepuk tangan beberapa kali dengan girang. Melihat itu, Lintang ikut tersenyum. Tak sulit ternyata membuat Binar merasa bahagia.

"Kalo kamu udah jadi pelanggan setiaku, nanti aku kasih diskon. Tapi, ngasih diskonnya nggak bakal sering. Soalnya nanti aku bisa bangkrut, sementara kamu jadi makin kaya."

Mendengar ucapan kocak Binar, Lintang kembali tertawa. Bersama wanita ini membuatnya mudah sekali mengeluarkan tawa lepas. Menyenangkan rasanya.

Binar yang tadinya juga ikut tertawa kemudian mengacungkan jempolnya. "Oke?"

Lintang menyulam senyum. "Oke."

"Oh, iya. Kamu ada alergi makanan?"

"Nggak ada. Tapi, aku nggak terlalu suka makan kacang panjang."

Binar mengangguk-angguk. Lintang mengambil botol air mineral di dekatnya. Meneguk isinya, kemudian bertanya, "Kamu belajar masak sama siapa?"

"Sama almarhumah ibu."

Lintang sudah tak kaget lagi mendengar Binar menyebut sang ibu dengan tambahan "almarhumah". Dia telah diberitahu Binar sebelumnya bahwa ibu wanita itu telah tiada.

"Aku selalu salut sama wanita yang bisa atau jago masak. Tapi, nggak menjadikan hal itu sebagai standar buat wanita."

Binar yang menyendok nasi di dalam kotak bekalnya, menaik-turunkan kepala setuju. "Karena setiap wanita itu pasti punya keahliannya masing-masing. Misal, ada wanita yang nggak jago masak, tapi dia jago berbisnis. Dan sebaliknya, ada wanita yang jago masak, tapi dia nggak jago berbisnis."

Wanita itu lantas menelengkan kepala sembari mengerutkan dahi. "Tapi sekarang, masih banyak masyarakat yang megang standar nggak kasat mata itu. Seolah menganggap wanita yang nggak bisa masak itu wanita yang gagal, wanita yang nggak bakal bisa ngebahagiain suami dan anak."

Lintang mengusap-usap ujung sendok. "Ya. Padahal, ada alternatif lain. Mungkin bisa beli makanan di luar. Atau nyewa jasa ART buat masakin makanan sehari-hari. Asal suami dan anak-anak si wanita nggak ada yang merasa terbebani."

Binar menjentik. "Nah, iya bener. Pakek ART juga bisa. Bisa sambil ngasih lapangan pekerjaan buat orang lain. Biar ngurangin angka pengangguran."

Lintang menelengkan kepala menatap Binar dengan sebelah alis terangkat. "Kok, tumben kita sepemikiran kali ini."

Binar mengerutkan dahi. "Iya, ya." Raut wajahnya dalam sekejap berubah menjadi takut-takut. "Atau jangan-jangan bakal ada ujan badai abis gini."

Lintang mengacak-acak rambut Binar. Membuat wanita itu seketika memekik dan mencoba menjauhkan tangan Lintang. "Daripada ngomong ngawur, mending kamu lanjutin aja makan bekalmu."

-oOo-

Binar mengembalikan novel yang baru dia baca blurbnya ke tempat semula. Menghampiri Anin yang berada tak jauh darinya, dia berdiri di sebelah wanita itu. Arga tak ada. Dia baru saja keluar untuk menjawab panggilan telepon dari seseorang.

"Novel sekarang banyak yang temanya perjodohan. Bosenin," ujarnya, kemudian bersidekap dan mengembuskan napas. "Emang masih musim apa perjodohan?"

Sembari mengangguk, Anin menutup novel yang baru dia baca. "Masih." Dikembalikannya novel tersebut ke rak. "Hubunganku sama Lintang aja hasil perjodohan."

Mata terbuka lebar, Binar menoleh ke arah Anin dengan ekspresi wajah kaget. "Serius?"

Anin tersenyum dan kembali mengangguk pelan. "Iya. Orang tua kami bersahabat sejak kuliah. Aku dan Lintang dijodohkan agar tali persahabatan mereka semakin erat."

Binar menganguk-angguk. Satu hal yang terlintas di benaknya. Pantas saja Lintang terlihat sama sekali tidak mencintai Anin. Pria itu memang selalu bersikap baik pada Anin. Tapi hal itu hanya semata bentuk formalitas.

Ada rasa tertarik kemudian untuk berpendapat. Binar menatap Anin hati-hati. "Maaf, tapi kok, kedengerannya orang tua kalian kayak egois. Memaksa kalian buat bersama."

Anin tersenyum kembali. Dia tampak tak marah. "Kedengerannya memang egois, tapi aku yakin mereka sudah memikirkan semua konsekuensi sebelum mengambil keputusan menjodohkan kami. Lagi pula, aku mencintai Lintang sudah sejak lama."

"Tapi, Lintang?"

Anin mengembuskan napas lirih. Dia memutar badan ke depan. "Sejujurnya, itu yang selalu aku pikirkan selama ini, Binar. Aku nggak tau bagaimana perasaan Lintang ke aku. Aku nggak tau apa dia juga terima dengan keputusan orang tua kami."

Binar tidak tahu bagaimana membalas ucapan Anin barusan. Kalau Binar meyakinkan Anin Lintang pasti juga mencintainya, itu berarti dia berdusta. Sedangkan kalau dia mengatakan Lintang terlihat tidak mencintai Anin, itu jelas akan melukai hati wanita itu.

Alhasil, Binar memilih hanya tersenyum kecil.

***

TBC

Surabaya, 27/02/19

PerceptionWhere stories live. Discover now