Angsle dan Ronde

10.3K 1K 68
                                    

Setiap meja di rumah makan Binar dipenuhi pengunjung.

Grand opening rumah makan wanita itu, mengusung promosi diskon lima puluh persen ditambah undian hadiah piring pajangan dan voucher makan sebesar lima puluh ribu. Lagu-lagu keroncong Jawa sedari acara dimulai, mengalun memenuhi sudut-sudut ruangan.

Bola mata Lintang lalu mengarah pada Binar yang tengah mengangkat kardus air mineral dibantu Arga. Terselip harapan di dirinya agar wanita itu segera sadar sikap Arga tersebut bukanlah sebuah ketulusan. Bukankah Binar biasanya cepat peka dengan keadaan sekitar?

Jarum jam pendek menunjuk angka sepuluh malam, semua pengunjung dan teman-teman Binar telah pulang. Anin mendekat ke Binar yang sedang melap meja kayu. Dia memegang pudak wanita itu.

"Binar, aku sama Arga pulang dulu, ya?"

Seketika, Binar mengangguk. Senyumnya terukir lebar di wajah. "Makasih banget Anin. Udah mau ngeluangin waktu buat dateng ke sini. Hati-hati di jalan, ya."

Kedua wanita itu berpelukan hangat dan saling mencium pipi. Anin kemudian beralih pada Lintang yang membantu Hana merapikan kursi.

"Lintang kamu nggak ikut pulang?"

"Aku bantu di sini dulu." Usai mengucapkan itu, Lintang merasa tatapan menusuk penuh kecurigaan Arga dilabuhkan padanya. Tapi, dia tidak peduli sama sekali.

Anin mengerti. Dia pamit pulang bersama Arga sekali lagi. Sepeninggal dua orang tersebut, Hana membuang napas dan meletakkan serbet di atas meja. Dia menyelipkan rambut pendek sebatas bahunya ke belakang telingan. "Hah, laper lagi! Bi mie-mu masih sisa, kan?"

Binar menoleh tanpa menghentikan kesibukannya mengumpulkan kardus kosong. "Masih."

"Ke siniin, Bi. Buat dimakan bertiga."

Gerakan tangan Binar terhenti. Wanita itu terlihat setuju dengan ucapan Hana barusan. Jempolnya lalu teracung. "Oke."

Di meja paling dekat dengan kipas angin dinding, Binar, Hana, dan Lintang duduk di sana. Dengan garpu masing-masing, ketiganya sibuk memakan mie goreng berlumur kecap dan suwiran ayam buatan Binar yang tidak habis. Masih hangat dan enak, sangat pas untuk mengisi perut Lintang yang kosong. Dirinya belum menyentuh makan malam sejak tadi pasalnya.

"Gini ini, jadi inget waktu dulu kerja di restoran ya, Bi? Kita pulangnya selalu paling akhir karena biasanya dibungkusin makanan sama pak bos," celetuk Hana di seberang Binar.

Tawa Binar keluar. "Iya, terus makanannya kita abisin di taman deket kos-kosan."

Lintang yang duduk di sebelah Binar, meletakkan garpu, lalu mengambil air mineral dalam botol di dekatnya. "Persahabatan kalian deket banget sampai dulu pernah satu kerjaan," ucapnya sebelum mengangkat botol untuk meneguk isinya.

Hana menggeleng-geleng. "Itu belum seberapa," digerakkan garpunya ke arah Binar, "anak satu ini malah sering ikut aku pulkam ke Batu."

Binar ikut mengacungkan garpunya ke arah Hana. "Keluargamu humble dan menyenangkan ya, Han. Makannya aku suka ngintilin dirimu ke Batu."

Lintang menutup tutup botol. "Oh, Hana asli Kota Batu?"

Anggukan kepala Hana tertangkap pandangan Lintang. "Aku ini anak rantau, ya."

"Batu mana?"

"Desa Tulungrejo."

Dahi Lintang mengerut, sedikit ingat pernah mengetahui desa itu dari artikel. "Yang ada tempat pemandian air panasnya bukan?"

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang