Disergap Cemburu

12.4K 1.3K 18
                                    

"Lahan itu lumayan strategis dan harganya masuk. Apa nggak sayang kalo diabaikan?"

Lintang mencondongkan badan dan menautkan jemari di atas meja kerjanya. Menanggapi penuturan Pak Farhan, "Land bank kita sudah mencapai 4000 ha, Pak. Belum lagi, BI kembali menaikkan suku bunga acuan hingga jadi enam persen. Kita fokus saja dulu pada proyek-proyek yang kita miliki."

Pada akhirnya Pak Farhan yang duduk di hadapannya mengangguk. "Oke."

Lintang mengembuskan napas pendek. Senang wakilnya yang menginjak umur empat puluh tahun itu, mau setuju dengan keputusannya untuk tidak fokus menambah land bank sementara waktu. Karena di perusahaan yang dia pimpin sebelumnya, wakil Lintang yang juga berumur lebih tua sulit sekali setuju atau mengerti apa yang dia utarakan. Seolah menganggap bahwa yang muda itu selalu salah. Dan yang tua selalu benar.

Pak Farhan pamit undur diri dan keluar dari ruangannya. Dua detik berikut, Binar melenggang masuk setelah mengetuk pintu dan diijinkan masuk.

Wanita itu menyerahkan dokumen padanya. "SPK untuk PT Sumber Jaya yang perlu Bapak tanda tangani."

Lintang membaca isi dokumen tersebut, membubuhkan tanda tangan, lalu mengembalikannya ke Binar. Binar giliran menyerahkan map yang ada digenggamannya. "Bank-bank yang mengadakan program suku bunga KPR rendah. Ada tiga bank yang menawarkan suku bunga KPR rendah dengan DP nol persen sebagai program akhir tahun."

Lintang membuka map dan membaca isinya. Binar memberinya informasi lengkap. Alamat rumah para pemimpin bank yang mengadakan program suku bunga KPR rendah sampai ada. Dia mendongak. "Thanks."

Satu alis Binar tertarik ke atas heran. Lintang bertanya, "Anything else?"

Binar menggeleng. "Nothing else."

Lintang beralih pada map cokelat di depannya. Sebelah tangannya mengusap-usap bulpoin. "Hari ini saya nggak ada jadwal makan siang dengan siapa pun, kan?"

"Nggak ada."

Kembali, Lintang mendongak. "Kamu nanti temenin saya makan siang di luar."

-oOo-

Restoran yang menghidangkan menu masakan Jawa itu ramai di jam dua belas siang. Lintang dan Binar mengambil tempat di meja dekat pintu masuk serta pot besar berisi tanaman hias.

Ketika seorang pelayan wanita berjalan mendekati meja mereka, Binar bertanya, "Aku dibayarin?"

Anggukan kepala Lintang disambut senyum bahagia wanita yang duduk di seberangnya itu. Lintang menyandarkan punggung ke kursi dan melipat tangan di dada. "Pasti mau pesen banyak lagi kayak kemarin."

Senyum Binar bertambah lebar. Deretan giginya yang putih rapi sampai terlihat. "Iya, dong. Mumpung dibayarin."

Lintang menggeleng-geleng kepala dan tersenyum samar. Binar memang tidak pernah jaim. Salah satu alasan dia dulu tertarik pada wanita tersebut. Pelayan pun menyapa mereka ramah. Dia menyerahkan buku menu. Usai Lintang dan Binar menyebutkan pesanan mereka masing-masing, pelayan tersebut melenggang pergi.

Binar mencondongkan badan. "Kamu lebih suka makan masakan Jawa, ya? Soalnya kemarin, kamu lahap banget makan gudeg di sini. Beda pas makan masakan Barat."

Lintang mengangguk. "Hm. Lidahku udah terlanjur akrab sama masakan Jawa."

Binar menyulam senyum manis. "Aku bisa masak makanan Jawa, loh. Kalo mau, aku bisa masakin kamu. Jadi, kamu nggak perlu sampai keluar kantor kayak gini kalo pengin makan masakan Jawa. Macet selama perjalanan ke sini kan pasti bikin capek. Kamu tinggal bilang aja mau aku masakin apa satu hari sebelumnya. Nanti aku pasti bikinin." Dia mengangkat jari telunjuknya. "Eits, tapi itu nggak gratis. Kamu mesti bayar. Anggep aja kayak kamu pesen makanan lewat Go-Food gitu."

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang