Tak Dapat Diduga

13.3K 1.4K 23
                                    

"Binar, aku suka sama kamu."

Mata Binar membeliak menatap Lintang yang berdiri di depan gadis itu dengan gugup. Tidak mudah bagi Lintang menyatakan perasaannya ini. Dia selalu dihantui rasa tidak percaya diri karena bentuk tubuhnya yang bulat seperti bola. Juga dihantui rasa cemas akan ditolak oleh primadona sekolah itu.

"Tapi, aku nggak suka sama kamu," sahut Binar, melipat tangan di dada. Air mukanya berubah mencemooh. "Gentong tanah liat kayak kamu, pantesnya suka sama gentong tanah liat juga."

Ucapan gadis berbando merah itu bagai palu godam yang dihantamkan tepat di hati Lintang, hingga pecah menjadi keping-keping yang berserakan. Binar melenggang pergi, tanpa rasa bersalah. Lintang memandang nanar kepergiannya di halaman belakang sekolah tersebut.

Lintang berharap ini adalah mimpi buruk untuknya. Dan saat dia membuka mata, dirinya belum mengungkapkan perasaan sukanya pada Binar. Karena dia tak akan pernah mau menyatakannya kalau tahu ditolak dengan begini kejam.

-oOo-

Membuka mata, Lintang yang menyandarkan kepala pada badan sofa ruang tamu rumahnya, teringat akan ucapan Binar tadi saat berada di kantor.

"Bapak itu udah nggak adil tau nggak sama saya! Sama karyawan lain aja Bapak baik, tapi sama saya jahatnya minta ampun! Bapak dendam gara-gara saya dulu pernah nolak pernyataan cintanya Bapak?"

Dia menghela napas, lalu mengembuskannya panjang. Bertemu dengan Binar kembali, membuatnya jadi ingin sedikit memberi pelajaran pada wanita itu. Mengingat kelakuan Binar di masa lampau. Setelah Lintang menyatakan perasaannya, Binar sering mengolok-olok dirinya di depan teman-teman dekat wanita itu.

Namun, dia tidak menyangka sampai melebihi batas.

Semua itu terjadi karena dia tanpa sengaja melihat Binar yang duduk di meja kerjanya dihampiri seorang laki-laki muda pagi tadi. Kalau tidak salah nama laki-laki itu adalah Javin, anak Divisi Keuangan. Dan dia adalah orang yang sama dengan yang dilihat Lintang di pantry. Laki-laki itu memberi Binar cokelat dan juga bunga. Binar terlihat senang.

Lintang yang diselimuti cemburu pun langsung melampiaskan amarahnya pada Binar, hingga wanita itu akhirnya ikut meledakkan emosi. Tapi seharusnya, Lintang tidak boleh cemburu. Binar sudah melukai hatinya. Ditambah dia sudah memiliki tunangan walau dia tidak menghendaki tunangannya itu. Ya, pria itu dijodohkan.

Sudah sejak lama, hubungan orang tua Lintang dan orang tua Anin begitu dekat. Hal itu membuat Lintang dan Anin menjadi sedekat ombak dengan batu karang. Perselisihan paham jarang terjadi di antara mereka. Kendati begitu, Lintang tak pernah menaruh perasaan lebih pada Anin. Anin menampati hidupnya hanya sebagai seorang sahabat. Tidak lebih.

Sampai mama Lintang meninggal dunia lantaran kecelakaan. Saat itu usia Lintang menginjak angka sembilan belas tahun. Dan dia sedang berada di Amerika untuk kuliah bisnis. Papa Lintang pun jatuh sakit. Lima hari kemudian, dia ikut menyusul menghadap Sang Pencipta. Mungkin tak kuat menghadapi tekanan batin ditinggal sang istri tercinta. Sebelum meninggal, papa Lintang sempat menulis surat wasiat yang ditujukan untuk kedua putranya. Langit dan Lintang. Dan salah satu isi surat wasiat itu adalah Lintang harus menikah dengan Anindya Ayu.

Lintang melepas kacamata berbingkai tipisnya untuk diletakkan di atas meja kaca di depan. Dia memijit pangkal hidungnya yang mancung. Bersamaan dengan itu, ponselnya berdering. Mengambil ponsel yang bersebelahan dengan kacamatanya, dia melirik nama yang tertera di layar. Ternyata dari sepupunya, Banyu.

"Halo?" ucapnya setelah menerima panggilan.

"Bro, lagi di mana?" Suara Banyu di seberang sana menerjang dengan kerasnya, membuat Lintang agak menjauhkan ponsel dari telinga. Lalu, mendekatkannya lagi.

PerceptionWhere stories live. Discover now