Terurai

5.8K 586 98
                                    

Binar menyetujui ajakan Hana mampir ke foodcourt dulu sebelum kembali ke Dilaris.

Setelah Hana membayar gaun untuk kondangan yang dia inginkan, mereka keluar dari outlet dan berbelok ke kiri. Binar memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya sambil berujar, "Menurutmu cewek yang nangis sendiri di pojokan kafe itu karena apa?"

Hana menautkan alisnya seolah bingung. "Karena putus cinta?"

Binar memikirkan jawaban Hana, kemudian merasa kurang yakin. Dia memang tidak mengenal dekat Tasya, tapi sepertinya wanita itu tak akan sampai menangis di tempat umum setelah putus cinta.

Terdengar suara Hana. "Siapa?"

Binar menoleh ke temannya itu. "Tasya, temen kantorku yang dulu suka nyari gara-gara sama aku."

Hana menaik-turunkan kepala. "Aku inget. Yang katamu pernah gelut sama kamu di kantor itu, kan?"

"Iya. Seingatku sih, dia punya pacar. Dan pacarnya dari dulu nggak pernah ganti. Si ramping yang punya tubuh jangkung." Usai mengutarakan itu, Binar terdiam karena menyadari ada kebenaran dari ucapan Hana sebelumnya. "Mungkin emang bener karena putus cinta. Lama pacaran mungkin bisa bikin dia sedih banget setelah putus sampe nangis di pojokan kafe."

Hana mengangguk. "Biasanya gitu. Dia tahu kamu pergokin nangis di pojokan kafe?"

"Tahu. Dan dia langsung marah begitu tahu aku pergokin nangis." Binar membuang napas. "Salahku, sih. Harusnya aku nggak ngehampirin dia yang dalam keadaan kacau waktu itu."

"Justru bagus, kan? Itu berarti kamu masih punya jiwa peduli," sahut Hana sembari melirik Binar.

Tak ada tanggapan dari Binar karena mereka telah sampai di foodcourt. Sementara Hana pergi ke stan yang menjual kwetiau, Binar pergi untuk memesan kebab. Setelah memesan, Binar celingukan untuk menemukan bangku kosong, lalu terkejut menjumpai Arga dan Anin di salah satu meja di pinggir. Dia tersenyum dan melangkah mendekat. Sebuah kata sapaan terganjal di tenggorokan saat dia menyadari suatu hal yang mampu membuat tubuhnya terpaku dan senyumnya luntur seketika.

Sejak dari dulu, Binar tahu bahwa mata tidak pernah bisa berbohong, mata seperti jendela yang bisa membuat kita melihat ke dalam hingga mengetahui perasaan si empunya. Dan saat ini, Binar juga dapat melihat kejujuran di sepasang mata yang biasanya menyorot tajam itu. Tidak ada kekecewaan atau kesedihan. Namun, perasaan bingung serta waspada melingkupi Binar erat. Terasa ada yang aneh. Terasa ada yang salah. Jika Arga masih menyukai Anin, untuk apa pria itu begitu gigih mendekatinya?

"Bi, yang bener aja kamu ngelamun di sini." Suara Hana dari arah belakang tak hanya menarik perhatian Binar, tapi juga dua orang yang sedang ditatap Binar.

Binar tidak bisa tak tersenyum ketika melihat Anin melambai-lambaikan tangan dengan antusias padanya. Sedangkan Arga, cuma memandangnya. Dihampirinya kedua orang itu diikuti Hana. Setelah hari ini, dia harus bicara berdua dengan Arga.

-oOo-

Di meja dekat pintu masuk sebuah kafe pinggir jalan, Binar membuka percakapan ke inti selepas pelayan membawakan pesanannya dan Arga. "Arga, apa alasan sebenernya kamu ngedeketin aku?"

Keterkejutan melintas di mata Arga, hampir tak kentara. Kemudian, itu tergantikan dengan ekspresi bingung yang mungkin cuma dibuat-buat. "Karena aku suka sama kamu. Memang apa lagi?"

Binar menggeleng kuat-kuat. "Aku tahu kamu sukanya sama Anin. Dan sampai saat ini pun, aku tahu kamu tetep sukanya sama dia. Kamu gigih ngedeketin aku karena mau ngejadiin aku semacam pelampiasan?"

"Anin sebenarnya sakit kardiomiopati, jantung lemah. Dan dia sudah ada di tahap kronis."

Perubahan topik yang tiba-tiba, ucapan di luar perkiraan, serta ekspresi lawan bicaranya yang tampak serius membuat Binar butuh tiga detik untuk tercengang. Mulutnya yang sedikit terbuka tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Matanya yang terbuka refleks tidak mau mengerjap. Lalu, semuanya menjadi jelas. Dia menemukan keterkaitan antara yang satu dan yang lain seperti mengurai simpul-simpul tali hingga menjadi lurus.

Amarah yang sebelumnya tidak ada, kini muncul dan terasa membakar tubuh. Tatapannya pada pria di depannya berubah tajam menusuk. "Jadi, tujuan kamu ngedeketin aku intinya biar Lintang tetep nikah sama Anin?"

Arga menarik napas, kemudian mengembuskannya. "Maaf. Aku cuma nggak mau Anin kenapa-napa. Kalo Lintang sampai mengakhiri hubungan pertunangan mereka, orang tua Anin bisa marah besar ke Lintang. Dan aku takut itu bisa mempengaruhi kondisi jantung Anin."

"Memangnya Anin nggak bisa transplantasi jantung?"

"Bisa, tapi dia masih ada di daftar tunggu. Dengan orang tua yang sangat berpengaruh, harusnya dia bisa didahulukan. Tapi, dia selalu menolak pakai cara seperti itu."

Binar mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Dipermainkan seperti ini tidak pernah mengenakkan untuknya. Dia selalu merasa seperti ditusuk-tusuk jarum. Kali ini pun sama. Dan rasanya lebih menyakitkan ketika mengingat dirinya dulu begitu senang saat Arga yang selalu memandangnya tajam serta waspada mau membuka diri seolah untuk menawarkan hubungan yang lebih dekat.

Dia yang tidak ingin berpikiran buruk, mana mengira bahwa Arga mendekatinya hanya untuk membuat Lintang dan Anin tetap menikah. Bentuk-bentuk perhatian yang diberikan pria itu ternyata semu. Andaikan ada yang benar-benar tulus, dia tidak yakin bisa membedakannya kini karena telanjur kecewa.

Setelah keheningan merayap di antara mereka dengan tanpa ada yang menyentuh cangkir kopi masing-masing, Arga berujar hati-hati, "Aku minta maaf, Binar. Aku tahu kamu... marah."

"Marah dan kecewa," koreksi Binar tajam. "Kamu pikir aku wanita macam apa? Aku nggak bakal tega ngerebut tunangan orang lain."

"Seseorang bisa berubah. Begitu juga dengan perasaannya."

Menyadari napasnya memburu, Binar terdiam sejenak untuk mengatur laju pernapasan. Setelahnya, dia kembali menatap Arga, tahu apa yang dinginkan pria itu. "Aku nggak bisa menjauh dari Lintang sepenuhnya. Karena dia investorku. Tapi, mulai sekarang, aku bakal menjaga jarak dari dia. Kamu puas?"

Tanpa menunggu tanggapan Arga, Binar berdiri. Dilangkahkan kakinya cepat menuju pintu keluar usai membayar tagihan pesanan. Sebelum memasuki mobil, dia sempat bertemu pandang dengan Arga yang hanya menatapnya dari balik jendela lebar kafe.

-oOo-

Walau sudah terjaga sejak tadi, tubuh Binar masih telentang di atas kasur. Kejadian kemarin mempengaruhi suasana hatinya pagi ini. Dia malas melakukan apa pun, padahal perlu pergi ke Dilaris.

Terlintas lagi setiap ucapan Arga di ruang pikirannya. Keningnya mejadi berkerut dan bibirnya menjadi melengkung ke bawah dengan muram. Kenapa Arga berpikir dirinya akan tega menyakiti Anin? Apa dirinya memang terlihat seperti wanita yang akan melakukan apa saja saat keinginannya tidak terpenuhi di mata pria itu?

Helaan napas Binar berubah berat begitu teringat ucapan Arga mengenai penyakit Anin. Pantas saja, Anin selama ini terlihat kerap lelah padahal tidak habis melakukan kegiatan fisik yang berat. Wanita itu juga pernah tertangkap pandanganya tengah meminum obat. Binar pernah bertanya padanya setelah itu, tapi Anin hanya tersenyum dan menjawab dirinya baik-baik saja.

"Itu bukan hanya tentang orang tuaku. Tapi, juga tentang empatiku, Binar."

Mata Binar terpejam. Sekarang dia paham apa maksud dari ucapan Lintang di mobil kala itu. Dan sekarang dia tahu mengapa Arga sering menjauh ketika Anin sedang bersama dirinya.

Binar akhirnya memutuskan turun dari kasur. Berjalan ke jendela, disibaknya tirai cokelat hingga menunjukkan langit mendung di luar mengguyurkan hujan. Berjalan ke nakas, diraihnya ponsel, lalu menilik layarnya. Ada satu pesan chat dari Lintang di antara semua notifikasi.

Lintang: Hujan. Hati-hati kalo lagi di jalan.

"Seseorang bisa berubah. Begitu juga dengan perasaannya."

Debar jantung Binar bergemuruh. Tubuhnya dicengkeram rasa takut. Dengan cepat, dia menutup aplikasi WhatsApp tanpa membalas pesan chat Lintang. Sepertinya, dia memang perlu menjaga jarak dari Lintang maupun Arga.

***

Monmaap ya, readers tercintah. Saya kalo udah baca novel seri sering khilaf lupa update 😥🙏

Surabaya, 12/08/2021

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PerceptionWhere stories live. Discover now