Afeksi

5.6K 687 48
                                    

"Aku baru tahu Lintang punya temen cewek selain Anin."

Wajah Rhea berseri ketika mata bundarnya menatap Binar di seberang yang tengah menyeruput teh hangat pelan-pelan. Meletakkan cangkir teh ke atas meja, Binar melengkungkan bibir ke atas dan mengangguk. Senyum Rea mengembang lebar. Wanita itu mencondongkan badan dan kembali berujar, "Kamu teman sekolah, teman kuliah, teman kerja, atau teman rasa pacarnya Lintang?"

Binar meringis. Sudah menduga dirinya akan dicurigai teman rasa pacarnya Lintang bila datang kemari. Sebenarnya, dia tadi ingin langsung diantar pulang. Namun, urung karena tak tega membayangkan Lintang harus bolak-balik antara apartemennya dengan rumah Langit di malam selarut ini. "Saya dulu teman sekolahnya Lintang. Terus, sempat jadi sekretaris dia di AstagiriLand."

Rea membulatkan mulut. Sedangkan Langit, menautkan alis. "Sempat? Berarti sekarang nggak?"

"Nggak. Saya sudah resign."

Mata Rea melebar. "Lintang otoriter di kantor ya, sampe bikin kamu nggak betah?"

"Iya, dia otoriter kalo sama saya," balas Binar dengan kekehan. Diliriknya sejenak Lintang yang duduk di sebelahnya masih santai membaca majalah berita Jayabaya dari meja. Kemudian, kembali memandang Langit dan Rea. "Tapi, saya resign karena pengin fokus ngebesarin bisnis rumah makan saya."

Senyum Langit perlahan muncul dengan tulus. "Kami doakan yang terbaik untuk bisnis rumah makanmu," ujarnya sembari menatap sekilas Rea yang lalu tersenyum dan mengangguk-angguk.

Binar turut tersenyum. Dia menyukai perangai hangat dua orang di depannya ini. "Makasih. Kalau mau, kalian bisa dateng ke rumah makan saya. Mungkin dengan bawa Gania. Rumah makan saya cocok untuk keluarga. Menunya serba minuman dan masakan Jawa."

"Masakan Binar enak. Kalian nggak bakal rugi dateng ke rumah makannya," sahut Lintang dari balik majalah.

Langit menatap Lintang dengan sebelah alis terangkat. Kilatan rasa geli berkelebat di mata gelapnya. "Kamu sering ke sana, ya?"

Lintang membalas tatapan sang kakak sekilas. "Lumayan."

"Buat makan atau nemui yang punya rumah makan?" tanya Rea diselipi seringai jahil.

"Dua-duanya."

Praktis, Binar melotot dan menoleh ke Lintang. Baru saja dia tertarik merekrut pria itu menjadi sales rumah makannya. Tapi pria itu kini, mengecewakannya. "Lintang!"

Lintang menutup majalah dan meletakkannya di meja. "Apa?" balasnya dengan wajah tersetel sok polos.

"Jangan bikin kita semakin dicurigai teman rasa pacar!"

"Memang selama ini bukan, ya?" tanya Langit menahan tawa.

Bibir Binar mencebik. Dahinya mengerut kala mengingat beberapa interaksinya bersama Lintang. "Bukan," jawabnya ragu.

"Yang di penginapan pas malem itu, kita disebut apa?"

Mendengar nada jahil dalam suara Lintang, Binar kembali melotot. "Kan aku nggak minta digandeng waktu itu!"

"Tapi kamu nggak keberatan selama aku gandeng."

Binar mulai kalut. "Ya itu... itu karena aku kedinginan! Terpaksa. Jadi, kita nggak bisa disebut TRP!"

"Yang pas kamu nempelin plester kompres di dahiku itu, kita disebut apa? Jangan ngelak itu bukan kamu. Nggak ada yang berani ngelakuin hal itu di kantor selain kamu."

Mata Binar berganti mengerjap. Yang menempelkan plester kompres di dahi Lintang ketika pria itu demam dulu memang dirinya. Dan dia masih tak paham mengapa mau melakukan hal tersebut. Padahal, dia tidak pernah seperhatian itu pada atasan sebelumnya. Padahal, atasan sebelumnya tidak kalah menarik dengan Lintang. "Itu hal yang yang wajar dilakukan sekretaris ke atasannya! Kita tetep nggak bisa disebut TRP!"

PerceptionWhere stories live. Discover now