Sudut yang Lain

11.6K 1.2K 52
                                    

Binar merapatkan jaketnya begitu keluar dari penginapan. Dia terbangun tiba-tiba dan tidak bisa tidur kembali. Ditambah mendengar Raya terus saja mendengkur keras di sebelahnya.

Di luar sepi. Karyawan-karyawan yang tadinya duduk-duduk di luar, sudah tidak ada. Hanya terdengar suara jangkrik. Binar melirik jam tangannya. Pukul dua malam. Pantas saja.

Suara samar langkah kaki pun terdengar di belakangnya. Seperti mengikutinya. Tubuh Binar seketika menegang. Orangkah atau hantu? Dia termasuk dalam golongan orang yang takut pada hantu. Tapi, masa hantu bisa berjalan? Yang ada di bayangannya, hantu selalu mengawang tak menyentuh tanah.

Kalau orang, buat apa dia mengikutinya? Pasti Javin! Pasti pria itu ingin mengagetinya kembali! Dia harus memberi pelajaran untuk Javin kali ini! Begitu tangan seseorang yang dia yakini Javin itu menyentuh pundaknya dari belakang, dia segera memutar badan dan mengambil tangan tersebut untuk dia peluntir ke bawah.

Si empunya tangan berteriak. Dan mata Binar langsung membeliak lebar. Orang itu bukan Javin. Orang itu adalah Lintang ternyata.

Binar melepaskan tangan Lintang. "Sori sori. Nggak tau."

Lintang mengusap-usap tangannya yang memerah. "Sori, sori. Tanggung jawab. Merah ini." Dia menunjukkan tangannya yang tadi dipeluntir Binar.

Binar mencebik. "Kayak abis dihamili aja minta pertanggung jawaban." Dia bertolak pinggang. "Lagian kamu sih, pakek jalan pelan-pelan di belakangku segala. Aku kira ya Javin. Javin kan biasanya suka ngagetin."

Ekspresi wajah Lintang berubah tak suka. Padahal, Binar kan sudah pernah menjelaskan pada Lintang bahwa Javin cuma sahabatnya. Dia tidak menyukai Javin. Begitu juga sebaliknya.

Lagipula Lintang tidak seharusnya cemburu pada Javin! Pria itu sudah punya tunangan. Namun, karena tidak ingin suasana berubah tak mengenakkan, Binar memilih tak peduli dan mengalihkan topik. "Nggak bisa tidur?"

"Nggak."

"Aku tadi sebenernya udah bisa tidur, tapi kebangun gara-gara dapet telepon dari Hana. Terus balik pengen tidur, eh nggak bisa tidur," ujar Binar cemberut. Dia lantas menarik lengan Lintang. "Ayok sambil jalan. Dingin banget hawanya."

Lintang melirik tangannya. "Ke mana sarung tanganmu?"

"Nggak bawa sarung tangan. Lupa." Binar menyengir.

Mengeluarkan kedua tangan dari saku celana training, Lintang melepas sarung tangannya.

Binar langsung mendelik. "Nggak usah, nggak usah. Aku nggak apa."

"Nggak apa, tapi badanmu gemeteran gitu."

"Tapi itu kan sarung tanganmu. Kamu pasti bakal kedinginan kalo aku pakek."

Lintang menelengkan kepala. Detik berikut, dia tetap melepas satu sarung tangannya sembari berucap, "Aku tau apa yang adil buat kita."

Diambilnya tangan kiri Binar dan memakaikannya sarung tangan. Tangan kanan Binar pun dia genggam dan dia masukkan ke dalam kantong jaketnya.

Terkejut atas apa yang dilakukan Lintang barusan, Binar melotot. "Heh!"

Lintang memandang sok polos. "Apa?"

Binar mendesah. "Aku juga bisa masukin tanganku ke kantong jaketku sendiri biar nggak kedinginan."

"Tapi, bersentuhan kulit akan lebih bikin kamu hangat."

Ucapan itu, entah mengapa bisa membuat pipi Binar terasa seperti terkena bara api yang panas. Kurang ajar, Lintang ini! Namun, tak bisa dipungkiri. Tangannya menjadi lebih hangat dari sebelumnya.

PerceptionWhere stories live. Discover now