Selaras

8.3K 777 33
                                    

Sungguh hal yang sangat tidak diinginkan oleh Lintang.

Suara motor Binar mendadak menderu-deru dengan nyaring, menandingi suaranya yang tidak seberapa keras. Dilihatnya Binar hanya diam. Lintang tidak yakin wanita itu bisa mendengar ucapannya barusan.

Usai deru motor Binar dihentikan oleh dua bapak dari bengkel, wanita itu menyengir. "Tadi ngomong apa? Nggak kedengeran."

Mendengar itu, Lintang kontan memejam diselipi rasa frustasi selama beberapa detik. Dia lantas menggeleng, memilih tidak ingin mengulang ucapannya. "Nggak ada siaran ulang."

Binar mendengus. Lintang menatap tali sepatu Binar yang lepas. Wanita itu masih saja ceroboh dengan tidak memerhatikan keadaan tali sepatu. Membungkuk, Lintang mengikat tali sepatu tersebut. "Gimana perkembangan Dilaris?"

"Rumah makanku sekarang udah punya pelanggan tetap, tapi jumlahnya nggak banyak."

"Itu wajar." Lintang selesai mengikat tali sepatu Binar. Dia kembali menegakkan tubuh dan disambut senyum simpul wanita itu.

"Makasih," tukas Binar.

Lintang membalas senyum wanita itu sebelum beralih ke depan. "AstagiriLand dulu juga kayak gitu. Nggak banyak dikenal orang. Kantornya pun kecil, cuma tiga lantai."

"Papamu hebat." Binar meringis. "Aku yakin nggak gampang besarin perusahaan itu."

Lintang mengangguk. Teringat sekilas bagaimana ayahnya dulu kerap bercerita mengenai upaya kerasnya dalam membesarkan AstagiriLand. "Butuh tekad dan kegigihan besar. Juga keberanian. Keberanian buat mengambil risiko tinggi. Dan keberanian buat memangsa para kompetitor jika nggak bisa keluar dari red ocean."

"Apalagi, pasti nggak gampang keluar dari red ocean."

Lintang hanya mengangguk.

"Dunia bisnis memang kejam. Memutuskan terjun ke sana, berarti harus siap jadi predator," komentar Binar seraya menggeleng-gelengkan kepala.

Lintang memasang wajah pura-pura kaget. "That means you're ready to become a predator?"

Binar tertawa. "Iya, dong." Kedua tangannya lalu merapatkan parka yang dia pakai. "Hm, ngomong-omong soal terjun, aku mau nanya sesuatu."

"Nanya apa?"

"Kenapa kamu nggak langsung terjun di AstagiriLand setelah lulus kuliah? Kenapa milih kerja buat perusahaan lain dulu?"

"Pengin cepet ketemu aku, ya?" goda Lintang, menaikkan sebelah alis.

Binar menoleh dan melotot tak terima. "Nggak, ya! Males banget!"

Lintang praktis mololoskan tawa. "Waktu itu, aku belum yakin properti memang bidang yang aku inginkan. Jadi ya, nyoba terjun ke bidang lain dulu sambil nambah pengalaman."

Binar manggut-manggut. Dia menyelipkan rambut panjangnya yang diberantakkan angin ke belakang telinga. "I see. Kakakmu juga gitu? Kalo nggak salah, kamu punya kakak, kan?"

"Kakakku dari awal udah nggak tertarik berkarir di bidang properti. Dia dokter bedah toraks dan kardiovaskular sekarang."

Mata Binar mengerjap bersamaan dengan mulutnya yang terbuka takjub. "Dokter bedah toraks? Wow! Masih single?" Dia mendadak bersidekap dan memutar badan ke depan. "Ah, nggak jadi. Pasti nggak enak jadi kakak iparmu. Di-bully terus."

Alih-alih kesal, Lintang justru terkekeh geli. "Kakakku udah married. Udah punya anak juga."

Binar meringis untuk kedua kali. "Udah kuduga."

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang