Hari Sabtu (Tidak) Selalu Membahagiakan

12.3K 1.3K 17
                                    

Mood Binar terjun ke bawah.

Gadis berseragam putih abu-abu tersebut, lagi-lagi menjumpai pemandangan kedua orang tuanya bersiteru. Dia merasa muak melihat Ayah yang jelas-jelas menghabiskan uang belanja Ibu untuk berjudi, terus tak mau disalahkan. Ayah justru banyak melayangkan kata-kata kasar ke Ibu. Pria itu sesekali menggebrak pintu kayu dapur di dekatnya. Seolah dia bisa hidup tanpa isterinya tersebut.

Usai menandaskan makanan dan mencuci piring kotor di kamar mandi, Binar mencangklong tasnya yang berada di meja makan. Dia menghampiri kedua orangtuanya yang otomatis menghentikan perseteruan mereka.

Binar melirik Ibu yang matanya memerah terlihat hampir menangis. Lalu, melirik Ayah yang wajahnya masih tampak kesal. Bukankah di antara mereka berdua yang seharusnya merasa kesal adalah Ibu?

"Aku berangkat dulu," pamitnya pada keduanya.

Turun dari angkutan umum, Binar hendak menyebrang jalan. Matanya pun melihat sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung sekolahannya, lantas menurunkan Lintang Kalandra, teman satu kelasnya yang selalu membuat Binar merasa iri.

Bagaimana tidak iri, Lintang yang bertubuh seperti gentong itu selalu bisa menjadi rangking satu di kelas. Dan hidupnya digelimangi harta. Pemuda berkacamata tersebut juga mempunyai orang tua yang harmonis.

Seperti yang dilihat Binar saat ini. Di dalam mobil yang kaca jendelanya terbuka itu, kedua orangtua Lintang terlibat percakapan kecil. Lalu, ayah Lintang mengecup pipi wanita yang duduk di sebelahnya tersebut penuh cinta.

Binar mengembuskan napas kasar sambil mengentakkan kaki sekali. Benar-benar pemandangan yang membuat suasana hatinya semakin bertambah buruk.

-oOo-

Lambaian tangan Hana di depan wajahnya, membuat ingatan sepuluh tahun lalu itu tercabut. Binar mengerjap-ngerjapkan mata.

"Kamu denger aku ngomong panjang lebar nggak sih, Bi?" tanya Hana. Alisnya yang rapi dan disulam bertaut.

"Nggak."

Suara decakkan lidah pelan terdengar dari Hana. Wanita berambut pendek diwarna cokelat itu bangkit dari meja makan, lalu menuju ke wastafel sambil membawa piring dan gelas kotornya. "Rabu depan aku nggak bisa dateng ke acara reuni SMA. Aku dipaksa ikut ke rumah eyang sama adikku."

Binar menaikkan bahu. "Rabu depan kayaknya aku lembur. Paling juga nggak bisa dateng ke acara itu."

Di sela-sela mencuci piring dan gelasnya, Hana menoleh. "Eh, sekarang Sabtu, ya?"

Binar yang menyeruput susu cokelat hangatnya di dalam mug, mengangguk-angguk dengan bahagia. Baginya, tak ada yang lebih menyenangkan selain berjumpa dengan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional. Itu karena setiap hari Sabtu dia sering pulang kerja setengah hari. Lembur pun, paling lama sampai pukul tujuh malam.

Hana mematikan kran. Dia mengeringkan piringnya dengan lap kering. "Kalo kamu nggak lembur, nanti sore kita main tenis, yok? Udah lama kita nggak main tenis."

Binar meletakkan mug di meja. "Boleh, boleh. Nyoba main di lapangan outdoor aja. Bosen kalo di lapangan indoor mulu."

-oOo-

Lintang meneguk air mineral di dalam botol yang tadi disodorkan Anin. Semilir angin sore mengenai wajah dan rambut hitamnya yang basah oleh keringat sehabis bermain tenis bersama Arga.

Sembari menyeka keringat di lehernya menggunakan handuk kecil, dia mendongak menatap Arga yang berdiri di depannya. Sahabatnya semenjak kecil itu tengah minum dari botol yang tadi diberikan Anin juga.

PerceptionDonde viven las historias. Descúbrelo ahora