Menggenggam Situasi

10.5K 1.1K 81
                                    

Arga tak kaget melihat Lintang ada di dalam gedung apartemen Binar.

Lantaran sejak awal, dugaannya mengatakan, Lintang menaruh perasaan lebih pada Binar. Gerak-gerik Lintang dan setiap ucapannya saat berada di lapangan tenis sore itu, kentara bahwa sahabatnya tersebut, menyukai wanita itu.

Binar melesatkan pertanyaan pada Lintang yang tampak telah menyingkirkan rasa terkejutnya, "Bapak, kok di sini?"

Lirikan tajam diberikan Lintang ke Arga sebelum pandangannya terpusat pada Binar. "Mau ketemu kamu, siapa lagi."

Giliran Binar kini yang melirik Arga. Dari gestur tubuh yang terlihat tegang, wanita itu tampak berharap Arga tak berpikiran yang aneh-aneh atas eksistensi Lintang di sini. Arga sendiri tak mempunyai pemikiran seperti itu. Dia tahu, Binar tak menyukai Lintang. Namun, bukan mustahil perasaan Binar pada akhirnya akan berubah.

Dan Arga tak mau itu terjadi.

Arga menyimpul senyum untuk Binar. "Aku pulang dulu."

Binar tersenyum agak keki. "Hati-hati di jalan."

Melimbai pergi meninggalkan keduanya, Arga mendengar suara Binar melengking menyerukan nama Lintang di belakang. Berjalan ke parkiran, dia tahu tengah diikuti Lintang.

Arga membalik badan dan langsung menemukan Lintang memberikannya tatapan tak main-main.

Lintang mendekat. "Kita perlu bicara."

-oOo-

Begitu pelayan pergi, Arga mengangkat cangkir late-nya. Sebelum bibirnya bersentuhan dengan pinggiran cangkir, dia berucap pada lawan bicaranya yang sedari tadi terlihat seolah ingin mengulitinya hidup-hidup, "Aku suka sama Binar. Dan aku masih lajang. Jadi, aku berhak mendekatinya."

"Kamu cuma ingin bikin Binar jauh dariku, dengan berusaha membuat wanita itu jatuh hati. Karena kamu tahu aku sebenernya suka sama Binar."

Arga meneguk isi cangkir. Dia tetap tenang seperti permukaan air kolam kendati tebakan Lintang barusan begitu tepat sasaran. Ya, dia memang sengaja memberikan perhatian demi perhatian untuk Binar agar wanita itu jadi menyukainya, bukan menyukai Lintang. Otomatis, Lintang akan tetap bisa menikah dengan Anin. Dan setelah itu terjadi, Arga akan mencampakkan Binar.

Sudah tahu apa yang harus dia lakukan bila akhirnya terjebak dalam situasi seperti ini, Arga meletakkan cangkir pada leper. Membalas ucapan pria di depannya, "Ya. Tapi, bukannya itu yang harus aku lakukan? Mengingat saat ini, kamu sudah terikat hubungan pertunangan dengan Anin."

Lintang melipat tangannya di depan dada. "Aku nggak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Kamu mencintai Anin sejak lama, tapi kenapa malah begitu ingin aku yang menikah dengan dia?"

Arga menarik napas. "Karena aku nggak sama seperti kamu, yang memegang prinsip bahwa saat mencintai seseorang, maka harus bisa hidup bahagia dengannya. Aku tahu Anin nggak pernah mencintaiku. Dan selama melihat dia bahagia, itu sudah cukup."

Tawa sumbang Lintang terdengar. "Jadi, hanya kebahagiaan Anin yang kamu pentingkan?"

"Aku juga mementingkan kebahagian orang tuamu. Kamu seharusnya juga begitu, kan?"

Lintang bangkit dari mejanya. Entah tak bisa menanggapi ucapan Arga, atau memilih memutus perdebatan agar tak memicu masalah di kafe ini.

Melihat pria itu akan melangkah pergi, Arga berujar, "Lintang, ingat. Anin sakit. Kamu tega meninggalkan dia demi Binar yang belum tentu mencintaimu?"

Lintang mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Lantas, menarik langkah keluar dari restoran. Arga tahu sahabatnya itu marah padanya. Tapi, dia tak perduli. Lagipula, itu untuk kebaikan Lintang sendiri.

PerceptionWhere stories live. Discover now