Kota Apel

12.3K 1.2K 38
                                    

Bus-bus yang ditumpangi karyawan-karyawan AstagiriLand berhenti di parkiran penginapan.

Binar turun dari bus sembari mencangklong tasnya. Pemandangan pohon-pohon cemara dan kebun apel yang tak jauh dari bangunan tradisional yang akan mereka pakai untuk menginap seketika memanjakan mata.

Ada rasa bangga di dirinya lantaran sudah merekomendasikan tempat yang berlokasi di Malang ini pada Lintang. Merentangkan kedua tangan lebar-lebar, dihirupnya udara segar.

"Aduh, Bi! Jangan ngerentangin tangan di sini napa," protes Monita yang mukanya ternyata terkena tangan Binar.

Binar menyengir. "Maap, maap."

Raya yang penampilannya kini bagai istri-istri siri anggota DPR, turun dari bus sebelah, kemudian menghampiri keduanya diikuti Javin.

Wanita itu mengambil kacamata Guess miliknya yang tersemat di belahan dada, lalu memakainya. "Kenapa sih, ngusulin outing kantor ke sini? Kan lebih enak di pantai. Biar bisa berjemur sambil liat roti sobek bos baru."

"Emang bos baru punya roti sobek?" tanya Javin.

Monita menelengkan kepala. "Aku tebak punya."

Raya melipat tangan di dada. "Aku tebak juga punya."

Javin menggeleng-geleng. "Aku tebak nggak. Cowok yang perutnya kelihatan datar itu belum tentu punya roti sobek Ciwi-Ciwi."

Orang yang mereka jadikan bahan pembicaraan pun muncul dari dalam bus yang tadi ditumpangi Binar dan Monita. Lintang dengan kaus hitam dilapisi kemeja kotak-kotak yang tidak terkancing, masih saja berhasil menyita perhatian banyak karyawan wanita. Kalau kata Raya tadi, Lintang bila berpakaian seperti ini jadi terlihat seperti kompor dua tungku. Panas!

Binar mengarahkan pandangannya ke perut Lintang yang datar tanpa lemak dengan wajah polos.

Lintang langsung mengikuti arah pandang Binar. Lantas, bertolak pinggang. "Heh, lihat apa kamu?"

Pandangan Binar naik ke atas. "Bapak punya roti sobek nggak?"

Mendengar pertanyaan ngawur Binar, Monita, Raya, dan Javin sontak mendelik. Lintang tampak syok.

Raya buru-buru menarik tubuh Binar dan membekap mulutnya. Dia menyengir, mengabaikan Binar yang terus meronta. "Nggak usah dipikirin omongan Binar yang tadi, Pak. Binar emang kalo ngomong sering ngawur. Mungkin efek dari otaknya yang geser."

Giliran Binar sekarang yang mendelik tahu otaknya dibilang geser. Lintang memilih menyingkir. Setelah itulah, Raya melepaskan mulut Binar.

"Yaampun, Bi! Mulutmu perlu aku lakban abis gini." Raya melotot tajam pada Binar.

"Ya daripada kalian menebak-nebak, mending aku tanyain langsung ke orangnya," sahut Binar santai membuat Raya dan Monita kontan mengacak-acak rambut wanita itu gemas.

Javin berjalan mulai meninggalkan mereka. "Udah, ah. Ayo. Ditinggal sama rombongan, tuh."

Selepas meletakkan tas di kamar dan berganti baju dengan kaus lengan pendek yang tadi diberikan panitia, Binar turun ke lantai bawah bersama Monita dan Raya. Karyawan-karyawan yang lain sudah berada di sana, mengisi meja-meja bundar yang tersebar di depan panggung kecil dan proyektor. Para petinggi AstagiriLand, termasuk Lintang menempati meja bundar paling depan.

Ketiga wanita itu memilih mengambil tempat duduk di belakang. Acara pun dibuka disusul sambutan meriah. Setelahnya, MC memberitahukan agar para karyawan segera membentuk kelompok. Kelompok ditentukan oleh nomor yang tertulis di kertas yang tadinya diselipkan di lipatan kaus.

PerceptionWhere stories live. Discover now