Cinderella dalam Satu Hari

12.1K 1.3K 19
                                    

Rumah minimalis di depan Binar itu adalah rumah Lintang.

Rumah yang didominasi warna cokelat dan abu-abu dengan pagar kayu tinggi. Lampu kecil di depan rumah Lintang masih menyala oranye. Memang sekarang masih pukul lima. Dan pria itu tega sekali telah menyuruh Binar yang enggan bangun cepat di hari Minggu, datang ke rumahnya pagi-pagi buta begini hanya untuk membantu membersihkan rumah! Jangan salahkan Binar bila saat membantu membersihkan rumah pria itu nanti yang dia lap bukan meja, tapi muka Lintang.

Binar menekan bel rumah sebanyak lima kali tanpa jeda. Tiga detik berikut, terdengar suara pintu terbuka dan suara langkah kaki mendekat menghampirinya. Gerbang kemudian dibuka tidak terlalu lebar. Memperlihatkan Lintang dengan kaus berkerah dan celana training membawa sapu.

"Masuk." Sapu tersebut langsung diserahkan ke Binar. Benar-benar penyambutan tamu yang anti mainstream!

Binar mendengus, lalu mengikuti langkah pria itu sambil memegang sapu. Kini, dia seolah menjelma menjadi Cinderella yang siap diperintah-perintah oleh ibu tirinya yang tak lain dan bukan adalah Lintang. Kenapa juga kemarin dia harus kalah dari pria itu?

Sebelum membuka pintu rumah, Lintang menoleh padanya. "Mulai sekarang kalo di luar jam kerja, kita nggak usah ngomong formal dan kamu nggak usah panggil aku "bapak"."

Binar menaik-turunkan kepala. Tak mempermasalahkan ucapan Lintang barusan. "Oke."

Masuk ke dalam rumah Lintang, mata Binar menjelajah sekitar. Dia tak menemukan apa pun terpajang di dinding. Bahkan, foto keluarga pun tak ada. Kebanyakan perabotan rumah berwarna putih. Mobilnya pun juga. Sepertinya Lintang memang penyuka warna putih.

"Kamu nggak ada asisten rumah tangga?" tanyanya.

Lintang menaiki anak tangga demi anak tangga. "Asisten rumah tanggaku lagi pulang kampung. Anaknya sakit."

Di lantai dua, lagi-lagi Binar melihat warna putih di mana-mana. Hidungnya mengernyit. "Udah bersih gitu."

"Kamarku yang perlu dibersihin."

Praktis, Binar menghentikan langkah. Lintang yang berada di depan berbalik dan menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"

Binar menyipitkan mata curiga. "Kamu lagi modus ya, biar bisa ngapa-apain aku?"

Lintang melipat tangan di dada dengan menarik senyum miring. "Kalo iya?"

Dengan wajah datar, Binar menunjukkan kepalan tinjunya membuat Lintang langsung tertawa. Baru kali ini dia mendengar Lintang mengeluarkan tawa. Tawa pria itu renyah dan enak didengar ternyata.

"Aku nggak bakal ngapa-apain kamu, Bi."

Lintang membuka pintu kamarnya. Pemandangan pakaian-pakaian berserakan di atas karpet lantai, buku-buku bergeletakan di atas kasur yang selimutnya tak beraturan, kardus pizza kosong di depan lemari baju, kaleng soda yang isinya tumpah di lantai, terpampang di mata Binar secara jelas.

Binar melongo. Ekor matanya melirik Lintang yang lalu berdeham kecil.

"Ganteng-ganteng kamarnya kayak tempat pembuangan sampah," gerutu Binar saat memunguti pakaian Lintang satu persatu.

Lintang muncul dari belakang membawa sulak, lap, cairan pembersih kaca dan keranjang. Keranjang disodorkannya ke Binar. "Itu pakaian kotor semua. Taruh sini aja."

Pria itu mematikan lampu kamar, menyibak tirai, memungut kardus pizza dan kaleng soda. Kemudian berucap, "Kamu bagian nyapu sama ngepel. Nanti kalo udah selesai nyapu, aku ambilin pelnya."

PerceptionWhere stories live. Discover now