Carousel

8.6K 826 30
                                    

Suasana sebuah taman hiburan di kawasan Surabaya Selatan membuat Ghania senang.

Terlihat dari senyum lebar dan raut antusias gadis kecil itu yang sering muncul sejak melewati pintu masuk. Binar sendiri juga merasa senang. Sudah lama dia tidak mengunjungi taman hiburan seperti ini.

"Nia pengin naik apa? Carousel?" tanya Lintang di sela-sela langkahnya.

Ghania mengangguk beberapa kali dengan antusias. Pipinya yang sedikit tembam jadi ingin sekali dicubit Binar. Begitu dekat dengan Carousel, Binar mengamati wahana yang diterangi cahaya oranye temaram dari lampu tersebut. Mengetahui hanya tiga kuda yang terpakai di sana, dia menanggapi, "Banyak yang kosong."

"Bi, inget umur," balas Lintang santai, membuat Binar langsung tertawa gemas.

"Aku nggak kepengin naik itu, kok!"

Lintang membuka mulut seperti hendak menanggapi. Namun, dia didahului oleh bunyi ponselnya. Menghentikan langkah, dia mengambil ponsel di saku celana bahannya. Menilik layar, dia lalu memilih tidak menjawab panggilan dan mengembalikan ponsel ke tempat semula.

Binar mengerutkan dahi. "Siapa?"

"Reza."

Reza adalah pengganti Binar di AstagiriLand. Jika pria itu menghubungi Lintang, berarti ada urusan pekerjaan yang ingin dibicarakan. Binar bertanya kembali, "Kalo Reza, kenapa nggak diangkat?"

"Aku nggak mau diganggu urusan pekerjaan pas quality time bareng keluarga. Ayo." Setelah mengatakan demikian, Lintang kembali berjalan sembari menggandeng tangan Ghania.

Menatap punggung Lintang, Binar belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia tidak menyangka, pria bujangan dengan karir gemilang seperti Lintang, enggan diganggu urusan pekerjaan saat quality time bersama keluarga. Fakta itu membuat nilai Lintang di otak Binar kian naik.

Sadar tertinggal cukup jauh, Binar segera mengejar langkah Lintang dan Ghania. Dia menunggu di balik pagar pembatas saat Lintang menggendong dan mendudukkan Ghania di atas salah satu kuda Carousel.

Ghania menatap Binar. Binar melambai-lambai, kemudian mengangkat kedua tangan ke sisi kepala, hingga membentuk "love" ke arahnya. Tanpa disangka, tindakan-tindakan Binar tersebut sanggup memicu tawa kecil Ghania. Ada debaran menyenangkan melihat perubahan itu.

Carousel berputar disertai bunyi klasik. Lintang menghampiri Binar. Dia berdiri di sebelah wanita itu, kemudian mengantongkan kedua tangan ke saku celana. Binar mengedar pandangan ke sekeliling. Dia banyak menjumpai anak seusia Ghania memegang gadget. Memandang Lintang, dia mengutarakan hal yang baru dilihatnya, "Sekarang banyak orang tua bolehin anak mereka yang masih kecil banget pegang gadget, ya?"

Lintang mengangguk. Binar mengambil sejumput rambutnya yang jatuh di pipi akibat terkena angin. "Nia juga udah dibolehin pegang gadget sama orang tuanya?"

"Orang tuanya baru bolehin dia pegang gadget kalo dia udah lulus SD."

Kernyitan di dahi Binar muncul. "Itu terlalu lama di zaman teknologi kayak gini," komentarnya begitu saja.

"Menurutku juga terlalu lama. Lebih baik di umur enam tahun."

Mata Binar melotot. "Umur enam tahun nggak terlalu dini?"

Lintang menggeleng. Dia beralih ke Binar. "Aku pernah baca, di umur enam tahun, perkembangan otak anak mencapai sembilan puluh lima persen dari orang dewasa. Di umur segitu juga anak biasanya lebih cepet menyerap ilmu melalui visual yang menarik dan colourful, kan? Sekarang di gadget, udah banyak video dan games dengan visual menarik yang mengedukasi."

PerceptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang